19 - Hujan

19 5 1
                                    

Assalamu'alaikum ....
Happy Reading ....

❤❤❤

"Saat diri merasa lemah, cobalah semakin dekat dengan Sang Pencipta. Pada dasarnya, hanya diri kita sendiri dan Tuhan yang mampu menguatkan."

~SheeMuu~

Berkali-kali Arumi menatap diri di depan cermin. Tubuhnya di balut rok panjang, kaos hitam polos, jas almamater biru muda dan tak lupa kerudungnya. Namun, ia masih tetap ragu untuk berangkat kuliah. Kantung mata dan wajah pucat sangat kentara di wajahnya. Semalaman, tubuhnya meriang tak karuan, belum lagi flu yang menyerang. Alhasil, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bahkan, saat bangun jam tiga pagi seperti biasanya pun, Arumi tidak sanggup. Tubuhnya terlalu lemah.

Sebenarnya bisa saja Arumi membolos, tetapi akan banyak mata kuliah yang tertinggal. Jika dipaksakan pun tubuhnya bisa semakin remuk saja. Hal itu semakin membuat kepalanya berdenyut ngilu.

"Rum, kamu baik-baik saja?" Ketukan pintu diiringi sebuah pertanyaan terdengar dari luar kamar.

"Ba—baik, Bu! Sebentar, ya," balas Arumi.

Saat mulai tersadar dan mengetahui siapa yang berada di depan kamarnya, Arumi bergegas menempelkan bedak untuk menutupi lingkaran gelap di sekitar mata. Fatimah tidak boleh tahu jika dirinya sakit. Ibunya itu pasti akan merasa sedih dan bersalah jika tubuh Arumi sampai tumbang.

Setelah pintu terbuka lebar, wajah Fatimah berpampang jelas. Raut khawatir begitu kentara dalam tatapan teduhnya. Ia tahu jika Arumi sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya, ia tidak mendengar suara lantunan mengaji di sepertiga malam, karena biasanya di jam segitu rumah ini terasa hangat dengan bacaan ayat suci yang Arumi keluarkan. Apalagi, wajah pucat yang tersirat nyata dari Arumi semakin menyakinkan kecurigaan Fatimah.

"Kamu sakit, Rum?"

"Ti—tidak."

"Wajahmu pucat."

Arumi berdesah pelan. Sekuat apapun ia menutupi sesuatu dari Fatimah, itu pasti tidak akan lama. Baik Fatimah yang mengetahuinya sendiri, atau dirinya yang tidak kuat lagi menutupi.

"Hanya pusing sedikit saja, Bu. Lagi pula minum obat aja udah pasti sembuh lagi, Kok," jawab Arumi. Sebisa mungkin diriya harus bisa menenangkan rasa khawatir Fatimah.

"Coba Ibu cek!" Lengan Fatimah terjulur menuju dahi Arumi. "Kamu demam, Rum." Tangannya masih bisa merasakan jika suhu tubuh Arumi di atas normal.

"Dengan wajah pucat dan suhu tubuh tinggi seperti ini kamu mau kuliah, Rum?" tanya Fatimah tak percaya melihat penampilan anaknya yang sangat rapi.

Belum sempat Arumi menjawab. Namun, Fatimah kembali menyergah, "Ibu tidak akan mengizinkanmu pergi hari ini. Istirahatlah! Minta izin sakit sama dosen."

"Tapi, Bu ... Arumi bisa ketinggalan pelajaran nanti."

"Kamu bisa meminta tugas untuk dikerjakan di rumah, Rum. Perjalan ke kampus itu jauh, keadaan tubuhmu tidak memungkinkan."

Mendengar hal itu, Arumi menghela napas berat. Sekeras apapun ia meminta Fatimah untuk mengizinkannya pergi, itu tidak akan berbuah manis. Fatimah selalu bersikap tegas jika dirinya sakit.

"Masuklah. Ibu akan siapkan bubur dan obat untukmu."

Arumi mengangguk pasrah. Saat Fatimah berlenggang pergi, ia segera masuk dan menutup pintu. Gadis itu mengambil ponsel di nakas, lantas mengutak-atiknya beberapa saat.

Setelah itu Arumi melepas jas almamater lantas menggantinya dengan jaket tebal. Segera tubuh itu berbaring di balik selimut tebal. Biarlah seperti itu dulu. Hati, tubuh, dan pikirannya memang butuh istirahat.

Sajadah CintaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora