18 - Ikhlas Melepas

28 4 5
                                    

Assalamu'alaikum ....
Happy Reading ....

❤❤❤

"Pada dasarnya, manusia memang hanya bisa merencanakan. Untuk hasil, tetap Sang Pencipta yang menentukan."

~Arumi Nasha~

Sebuah sepeda dengan keranjang depan berisi beberapa kue yang masih tersisa didorong pelan oleh seorang gadis. Dirinya tampak lesu tidak bersemangat, bahkan untuk mengowes pedal saja rasanya tidak sanggup. Padahal, waktunya tidak akan terbuang banyak jika mengandalkan kendaraan roda dua yang seharusnya diayuh itu. Namun, apa boleh buat jika hatinya sudah berkehendak.

Semilir angin sore hari menerpa kulit wajahnya. Langit menghitam, pertanda sedang menahan tetesan hujan. Namun, ia tidak ingin segera pulang. Pikirannya butuh waktu untuk tenang walau sejenak saja. Langkahnya berjalan pasti menuju taman kecil di dekat kompleks perumahan yang telah dilewatinya. Berharap, di tempat itu ia mampu menghilangkan sebagian rasa resah dan gelisah. Karena pada dasarnya, hal itu tidak akan seluruhnya terlepas.

Langkah guntainya berhasil sampai di sebuah kursi. Menstandarkan sepeda, lalu ia duduk perlahan. Semua perkataan Vira sukses membuat sebagian dunia Arumi teralihkan. Hal itu tentu saja mempengaruhi semangatnya saat berjualan kue. Alhasil, ia merasa sangat lelah. Padahal, ia belum berkeliling sejauh biasanya.

Setelah kejadian itu, Arumi kembali berjualan dengan sisa-sisa semangat yang perlahan mulai terbakar. Saat kaki dan hatinya merasa tidak bisa lagi dipaksakan, Arumi memutuskan untuk pulang. Tidak lama dari itu, azan Asar berkumandang, masjid menjadi tempat istirahatnya sejenak. Mengadu kepada Sang Pencipta atas semuanya, meminta agar dimudahkan segala urusan dan menetapkan takdir baik untuk ke depan nanti. Tanpa Sang Khaliq, Arumi yakin dirinya tidak akan sekuat itu.

Resah telah sedikit berkurang, tetapi terasa tidak cukup bagi Arumi jika tidak membaginya dengan alam. Gadis yang suka akan ketenangan itu terbiasa mengungkapkan segala gundah sembari menatap langit. Baik saat bintang hadir ataupun tidak. Terpenting, ia bisa menatap luasnya cakrawala. Menjadi motivasinya untuk mencapai mimpi setinggi dan seluas itu.

Merasa puas terus menengadah, matanya perlahan terpejam kuat. Tangan dengan refkeks menyentuh dada, tidak dapat terelakkan jika ada rasa sesak di dalam sana. Caci maki dan kata-kata pedas Vira terus berputar dalam benak. Menyisakan memori tidak sedap kala tidak sengaja selalu terlintas di angan-angan.

Hati Arumi mengadu. Dirinya, Sang Pencipta, dan semesta tengah saling berbincang. Dari hati langsung ia serahkan kepada Sang Pembuat Takdir. Jika benar dirinya tidak pantas, ia ikhlas. Sangat ikhlas. Namun, hentikan semua sakit dan rasa yang terus menjalar dan tidak bisa ia kendalikan.

"Astaghfirullah hal adzim," lirihnya.

Mata Arumi mulai kembali terbuka. Rasa panas terus mengitari wajahnya, terutama sekitar mata dan hidung yang semakin menjadi. Tidak. Arumi tidak boleh lemah, tidak boleh cengeng. Itu sesuatu yang mudah, ia hanya tinggal ikhlas dan menerimanya dengan lapang dada. Lantas, semuanya akan baik-baik saja. Ya, mungkin semudah itu bagi orang lain. Namun, sangat sulit bagi seorang Arumi dan rasa kagum yang telah terpendam dan berakar sangat dalam di hati. Enam tahun itu, waktu yang sangat Arumi sukai jika bertemu dengan sang pujaan hati.

Sesuatu sangat menumpuk di pelupuk mata gadis itu. Tidak ada habis-habisnya, padahal sedari tadi ia terus mengeluarkannya. Benar, wanita tidak pernah jauh dari yang namanya air mata, baik itu sedih ataupun bahagia. Air itu selalu menyertai dalam setiap keadaan. Hal itu, menjadi ciri khas keistimewaan yang terpancar.

Tidak ingin pertahanannya kembali luruh seperti saat di hadapan Vira, Arumi mengusap lembut sudut matanya. Berusaha agar tidak satu tetes pun air itu kembali terjatuh. Walau ia tidak bisa berbohong kepada Sang Pencipta di setiap malam.

Sajadah CintaWhere stories live. Discover now