1

42.8K 1.4K 12
                                    


Seorang wanita keluar dari mobil yang tampak mencolok di kawasan padat penduduk sekitar kampus ternama di Yogyakarta. Wanita itu adalah Kelana, yang berjalan menuju salah satu bangunan dengan plakat Kos Himalaya. Ia masih menggunakan legging dan sport bra yang ditutupi jaket karena baru saja pulang dari tempat gym yang tidak jauh dari kos miliknya itu.

“Wahhh Ibunda datanggg!” salah satu penghuni kos berteriak, memberi pengumuman pada penghuni kos lainnya.

Kelana menggelengkan kepala melihat tingkah salah satu mahasiswa yang tinggal di kos kos-annya. Ia sudah biasa menghadapi tingkah aneh penghuni kos miliknya.

“Ini, dibagi sama yang anak anak sebelah juga.” Kelana mengangsurkan plastik hitam yang berisi gorengan pada Dewi, salah satu penghuni kos.

Maksud Kelana ‘anak anak sebelah’ adalah penghuni laki-laki Kos Himalaya. Kos Himalaya terdiri dari dua bangunan yang saling berhadapan yang disekat oleh tembok, tapi terdapat gerbang yang dapat dibuka.

“Wah asik…dimakan bareng di rooftop aja Mbak.” Dewi memberi ide, sudah lama mereka tidak berkumpul.

“Okee, atur aja deh. Gue ke sini mau numpang mandi, gerah abis nge gym.”

Dewi pun mengabari salah satu penghuni Kos Himalaya putra untuk berkumpul di rooftop bangunan kos putri karena Kelana berkunjung membawakan makanan. Tidak butuh waktu lama para penghuni kos pun berkumpul di rooftop, sedangkan Kelana memilih untuk mandi di kamar mandi salah satu kamar yang biasanya ia tempati ketika tidur di kos nya.

Kelana memang dekat dengan para penyewa kos nya, wanita itu sering datang berkunjung dan membawakan mereka makanan. Kebanyakan para penghuni kos nya adalah mahasiswa hanya beberapa yang pekerja.

Lokasi yang strategis dan dekat dengan kampus membuat kos itu selalu penuh apalagi bangunannya sangat terawat dan nyaman. Rasa kekeluargaan sangat terasa di kos Himalaya ini, sebagai ibu kos, Kelana pun peduli dan perhatian dengan warga Kos Himalaya.

Kelana memberi nama Kos Himalaya karena kecintaan wanita itu dengan dunia pendakian. Di usia 13 tahun papanya mengajak dirinya mendaki Himalaya, memang tidak sampai puncak ataupun sampai Everest Base Camp. Namun itu adalah sebuah pengalaman yang tidak akan pernah Kelana lupakan.

Papanya memang memperkenalkan alam padanya sejak kecil. Keluarganya sering camping di pinggir pantai, ataupun mendaki bukit. Beranjak dewasa Kelana pun semakin gemar jalan jalan dan menjelajahi wilayah yang sebelumnya belum pernah ia datangi.

Tahun lalu Kelana baru saja mendaki Kilimanjaro bersama teman temannya. Gunung Kilimanjaro yang terletak di Tanzania, Benua Afrika. Gunung yang terletak 5.895 mdpl ini merupakan titik tertinggi Benua Afrika, yang menjadikannya salah satu dari 7 puncak dunia. Bahkan kabarnya Gunung Kilimanjaro kini telah dilengkapi internet berkecepatan tinggi.

o0o


 Kelana mencomot pisang goreng dari dalam plastik yang tadi di bawanya. Saat ini ia sedang berkumpul dengan para penghuni kos, Reza memainkan gitarnya sedangkan beberapa anak asik menyanyi.

“Wi nyanyi yang bener dong. Nadanya engga kayak gitu kali,” telinga Reza gatal mendengar suara sumbang Dewi, mahasiswa semester dua yang buta nada itu.

“Ihh aku mah selalu salah di mata Mas Reza.” Dewi mencebik, ngambek tidak mau bernyanyi lagi. Gadis itu memilih mendekati Kelana.

“Katanya habis nge gym Mbak?” tanya Dewi.

“Hmm…” Kelana menjawab dengan gumaman karena mulutnya asik mengunyah pisang goreng.

“Kok malah makan gorengan? Lagian bawa gorengan banyak banget, sekali kali bawain yang lain lah. Yang lebih mahal gitu loh…” Dewi ini memang gadis yang ceplas ceplos dan suka ngelunjak.

“Lha terus kalo gue nge gym engga boleh makan gorengan? Lagian hidup itu harus seimbang. Emang mau di bawain apa? Pizza? Gue bawain asal IP lo semester ini 3,6. Terserah mau apa, tinggal sebut aja!” Kelana tmenyeringai, wanita itu tahu Dewi mendapat IP di bawah 3 semester lalu. Sedangkan wajah Dewi langsung cemberut mendengar tantangan dari ibu kosnya itu.

“Huaaa masak bawa bawa IP sih. Mbak Kelana engga asik ahh.” Dewi melipat tangannya di dada, cemberut mengingat IP nya yang rendah semester sebelumnya.

“Gini deh, khusus buat adek adek tersayang. Gue kasih diskon bayar kos buat yang IP nya di atas 3,6 semester ini. Ntar tunjukin aja bukti nya ke WA.”

Penghuni kos yang rata rata mahasiswa pun besorak bahagia. Kelana berharap hal ini menjadi penyemangat agar mereka semangat belajar. Wanita itu mengulum senyumnya ketika matanya menatap wajah Dewi yang masih cemberut. Pasalnya anak itu harus sangat amat bekerja keras agar mendapatkan IP tinggi dengan otaknya yang minimalis itu.

Penghuni Kos Himalaya memang sangat betah tinggal di sana, bukan hanya karena bangunannya yang nyaman, tapi karena ibu kosnya. Kelana memang wanita muda yang memiliki beberapa usaha.

Di usianya yang ke 26 tahun ini, dirinya memegang beberapa usaha toko oleh-oleh milik keluarganya dan usaha kos kos an miliknya sendiri. Ia juga memiliki toko bunga dan hadiah yang terletak tepat di depan kampus.

Kelana baru saja menyelesaikan pendidikan magisternya di Belanda. Sepulang dari negeri kincir angin itu, ia bersama teman temannya yang berasal dari Indonesia  mendirikan sekolah alam.

 Mereka sepakat untuk mendirikan sekolah non-formal. Mereka mendirikan sekolah di tempat mereka berasal, Yosa dari Papua, Thoni dari Bima, dan Doni dari Sulawesi. Sedangkan Kelana dan Gea mendirikan sekolah non-formal di Yogyakarta.

Sekolah non-formal yang didirikannya merupakan tempat belajar yang nyaman dan menyatu dengan alam. Belajar tidak melulu berada di depan papan tulis, dan dengan menggunakan seragam sekolah. Wanita itu ingin mendirikan sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu, tapi memiliki semangat yang besar untuk menuntut ilmu dan terus belajar.

Wanita itu juga memperkenalkan sekolah alam pada penghuni kos, sehingga beberapa dari mereka tertarik untuk menjadi pengajar di sekolah alam. Bahkan mereka juga mempromosikan sekolah alam kepada teman temannya agar menjadi pengajar jika mereka berminat. 

o0o

Kelana meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya untuk mencari ponselnya yang terus berdering. Wanita itu masih memjamkan matanya, menggerutu saat tidak segera menemukan poselnya itu.

Dengan malas malas an Kelana memaksakan matanya untuk terbuka dan merangkak untuk mengambil ponselnya yang ternyata jauh dari jangkauan tangannya. Ia melihat temannya, Rengganis lah yang menelponnya.

“Halo,” sapa Kelana.

“Lo baru bangun?” Kelana hanya bergumam sembari menyandarkan rubuhnya di kepala ranjang. “Dasar! Ehh temen gue ada yang mau muncak ke Lawu, boleh bareng sama Lo engga? Katanya kemarin lo mau ke sana juga kan? Kalian barengan aja!”

 

KELANA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang