"Kamu bohong! Aku dapat buktinya kemarin dari suruhan aku. Kamu selalu bersama wanita dan anak sialan itu!"

"Tutup mulut kamu!" bentak Tama dengan penuh amarah. Ia tak suka Bella menghina putrinya.

"Jangan pernah sekali pun kamu menghina anak aku! Sekali lagi kamu lakuin itu, kamu akan menyesal!" ancamnya.

Bella mematung. Ucapan Tama barusan jelas menyatakan kalau benar gadis kecil itu adalah anak Tama.

"Jadi benar dia itu anak kamu! Jadi selama ini kamu bohong sama aku! Kenapa kamu enggak jujur sejak awal berengsek!"

Tama tak menjawab, ia hanya diam saja tak menjawab satu kata pun.

"Aku akan lapor orang tua kamu!" ucap Bella sembari mengambil ponselnya yang berada di dalam tas.

Namun saat akan menghubungi ayah Tama. Pria itu lebih dulu merampas ponsel Bella dan melemparnya ke dinding hingga mengakibatkan ponsel itu retak dan pecah.

"Apa-apaan kamu Tama!"

"Jangan bawa-bawa orang tua ku. Jangan coba melapor ke mereka. Kamu enggak tau apa yang bisa mereka lakukan ke putriku!" ucap Tama.

"Aku enggak peduli! Biar sekalian ayah kamu singkirin wanita sialan itu beserta anak haram kamu itu!"

Plak!

Suara tamparan terdengar di seluruh penjuru ruangan. Tama menampar Bella dengan keras. Ucapan Bella membuatnya tak mampu menahan diri.

"Aku sudah bilang jaga bicara kamu! Kalau sampai terjadi hal buruk pada putriku. Kamu yang akan aku cari dan hancurkan."

Bella membeku, tamparan Tama membuat ia syok berat. Tidak pernah sekalipun ia mendapatkan perilaku buruk seperti ini sebelumnya dari pria itu. Bahkan bentakan pun tak pernah. Tapi hanya karena ia menghina putrinya, Tama Seolah-olah kehilangan akalnya.

"Sialan kamu! Berani-beraninya kamu nampar aku!" teriak Bella.

"Seharunya kamu tutup mulut kamu saat aku peringati. Dari awal aku memang enggak ada niat untuk balikan sama kamu kalau saja ayah ku enggak memaksa! Jadi sebaiknya kamu keluar sekarang atau aku yang akan menyeret kamu dari sini!"

Bella pergi begitu saja, sekalipun ia marah namun jujur saja ia cukup takut saat melihat wajah marah Tama. Pria itu terlihat seperti ayahnya yang mengerikan itu.

Tama duduk di sofanya. Ia termenung di sana. Ia takut Bella akan melopor pada orang tuanya. terutama pada ayahnya. Pria tua yang tak punya belas kasihan itu adalah kekhawatiran terbesarnya. Ayahnya memang terlihat seperti pengusaha dan politikus yang baik hati, tapi pada kenyataannya ia tak lebih dari pria tua yang gila akan kekuasaan.

Alasan mengapa ia harus berhubungan dan menikahi Bella adalah karena kepentingan ayahnya. Ayahnya tak pernah memperlakukannya selayaknya seorang putra. Tama hanya pion yang pria tua itu gunakan untuk mendapatkan apa yang dia mau. Dan jika pria tua itu tahu apa yang terjadi saat ini, ia tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan oleh ayahnya.
***

Joana dilarikan ke rumah sakit. Sesampainya di sana, perawat mulai mengerubungi gadis kecil itu dan saat Any akan ikut masuk ke ruangan putrinya dibawah, ia dilarang dan di tahan ditempatnya.

"Anda dilarang masuk. Mohon tunggu di sini," ucap seorang perawat yang menahannya sebelum menghilang di balik ruangan.

"Tidak! Tidak suster! Tolong biarkan saya masuk. Saya ingin bersama putri saya. Tolong!" ia meraung memohon agar dibiarkan masuk.

Sekalipun saat ayahnya--Cristian memeluknya ia tetap merontah, ia meraung-raung hingga tubuhnya melemah sebelum jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Waktu berlalu, Ia tak sadarkan diri satu jam lebih lamanya, saat ia membuka matanya perlahan ingatan itu kembali lagi. Kepanikan mulai dirasakannya kembali, dan ketika ia terbangun yang dapat dilihatnya hanyalah orang-orang yang menagis, meraung dan ketika orang tuanya dilihatnya, dan mata ibunya bertatapan dengannya ia tahu sesuatu terjadi.

Ia mengalihkan tatapannya. Di sana seorang dokter berdiri sembari menunduk, Any melangkah mendekati dokter itu, ia menelan ludah perlahan, tubuhnya bergetar dan wajahnya memucat.

"Anak.. Anak saya.. Gimana anak saya dokter?" tanya dengan suara bergetar.

Dokter itu menghela napas sebelum menjawab.

"Maaf bu. Kami sudah mencoba yang terbaik untuk menyelamatkan putri ibu. Tapi ia mengalami luka yang  parah di kepalanya dan ia terlalu banyak kehilangan darah. Putri ibu tak dapat kami Selamatkan. Kami mohon maaf."

Kalimat dokter itu tak mampu lagi ia dengar, jiwanya terasa ikut tersedot habis bersama kalimat maaf yang dokter itu lontarkan.

Ia menolak untuk percaya. Putrinya tidak mungkin meninggalkannya begitu saja. Joana tidak mungkin pergi. Ini tidak adil. Tuhan tidak mungkin mengambilnya. Ia menganggap dokter itu keliru. Ia masih mengingat jelas bagaimana senyum putrinya itu pagi ini. Ia masih mengingat jelas bagaimana tangan mungil itu memeluknya malam tadi, ia tidak mungkin meninggal, tidak mungkin!

Sungguh tak adil. Ia tidak mungkin kehilangan lagi. Bukannya Tuhan menghadirkan Joana untuk menggantikan adik kembarnya yang sudah pergi? Bukannya Tuhan memberikannya hadiah seorang putri yang cantik untuk kembali membuatnya bahagia?

Lalu kenapa? Kenapa Tuhan kembali mengambilnya?

Ini sunggu tak adil?!

"Kalian salah! Anak saya tidak mungkin mati. Joana enggak mungkin mati. Dia masih hidup. Kalian salah! Itu bukan anak saya! Joana masih bersama opanya. Dia hanya pergi membeli ikan kecil, dia tidak mati. Dia pergi menjeput ikan kecilnya. Dia tidak kemana-mana. Joanaaa!" suara memiluhkan itu terdengar di seluruh penjuru ruangan.

Tak ada yang mampu menenangkannya, tangisan Any terlalu memiluhkan. Ia seperti kehilangan kewarasannya, berlutut di lantai sembari memukul dadanya berulang-ulang kali tak mampu menghilangkan sesak di dadanya.

Ia hancur, separuh jiwanya lenyap, dunianya runtuh bersama kepergian putrinya. Tak ada lagi yang tersisa darinya. Semuanya hilang bersama kepergian putrinya.
***









Bersambung..






💔

ReplaceWhere stories live. Discover now