Canada and Germany

397 93 8
                                    

"JI." Perempuan dengan seragam putih biru dan tas ransel merah muda itu berteriak, berlari ke arah seorang laki-laki yang sedang berlatih basket sendiri di lapang depan rumahnya dengan jersey putih. Laki-laki itu menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah sumber suara.

"Lu kenapa nangis, Zi?" Refleks, Fajri melempar ke sembarang arah bola basket dalam genggamannya. Dia memegang kedua pipi perempuan itu yang sudah dibasahi air mata.

"Fi... Fiki." Ucap Kezia sesegukan.

"Ada apa?" Dengan nada kaget, Fajri menatap heran.

"Di... Dia..." Kezia tidak melanjutkan ucapannya, tangisnya semakin pecah.

"Fiki kenapa, Zi?" Fajri kembali bertanya dengan nada lebih pelan sembari mengelus lembut pipi Kezia -menyeka air mata yang terus mengalir. Tak kuat untuk menahan tangis, Kezia hanya menyodorkan smartphone miliknya. Dengan sebelah tangan, Fajri memegang smartphone tersebut dan tertera sebuah pesan pada layar dengan nama pengirim Fiki.

Halo, Kezia. Ini mamah, sebelumnya maaf ya mamah baru kasih kabar sekarang. Tadi pagi Fiki mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju sekolah. Mamah udah bawa Fiki ke RSUD terdekat, tapi ternyata peralatannya belum lengkap untuk menangani Fiki. Sekarang mamah, papah, sama Fiki lagi dalam perjalanan menuju Kanada agar dapat memberikan penanganan yang terbaik untuk Fiki, sekaligus melanjutkan pekerjaan papah di sana. Fiki akan baik-baik aja, Kezia jangan khawatir ya.

Fajri terdiam. Perlahan, dia menarik tubuh Kezia untuk jatuh dalam pelukannya. Makin erat pelukan itu, makin pecah pula tangisan Kezia. Sejak saat itu, Fajri paham bahwa mereka hanyalah sepasang sahabat kecil -tak lebih. Dia juga paham bahwa Kezia tak bisa melepaskan Fiki -seseorang yang sangat Kezia sayangi. Namun, satu hal yang Fajri yakini bahwa dia sangat menyayangi perempuan dalam pelukannya itu, bukan sebagai sahabat. Fajri tak ingin Kezia terus berlarut dalam kesedihannya.

"Zi?" Tak ada balasan apapun. "Gue tau ini berat, tapi gue yakin Fiki bakal baik-baik aja di sana, dia akan mendapat perawatan sebaik mungkin. Gue yakin Fiki bakal sembuh dan bisa menemui lu lagi suatu hari nanti. Lu boleh nangis sepuasnya sekarang, tapi lu jangan terlalu khawatir sama apapun yang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Lu punya gue di sini, Zi. Gue janji, semua akan berakhir bahagia." Fajri menempatkan dagunya pada ujung kepala Kezia sembari mengelus pelan rambut Kezia.

"Gue takut Fiki ninggalin gue." Ucap Kezia pelan.

"Kagak, dia kagak bakal ninggalin lu, percaya sama gue. Lu pasti bisa ketemu dia lagi kok. Semua hanya masalah waktu, Zi. Kalau dia kagak pergi ke Kanada, dia mungkin kagak bisa diselamatkan karena peralatan rumah sakit yang kagak lengkap. Yakin aja, sampai temu dapat restu dari waktu."

"Ji?" Kezia melepas pelukan Fajri.

"Iya?" Fajri menatap mata Kezia yang sudah sembap akibat tangisannya.

"Lu yakin Fiki bakal balik lagi?" Fajri mengangguk ragu, pasalnya dia pun tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dia hanya ingin menenangkan perempuan di hadapannya. "Lu jangan ninggalin gue ya, Ji. Setidaknya sampai Fiki kembali." Lanjutan kalimat Kezia mampu membuat Fajri terdiam kaku. Fajri semakin menyadari posisinya saat ini. Hanya sebagai pemeran pengganti saat pemeran utama pergi.

"Gue janji." Dua kata itu keluar begitu saja dari mulut Fajri, dia memaksakan senyum di bibirnya. Kezia tersenyum tipis dan kembali memeluk Fajri.

҉҉҉

Fajri melepas sepatunya dan menaruh pada rak di halaman rumahnya. Dia membuka pintu dan terlihat papahnya sedang duduk di ruang utama.

"Baik, baik, terima kasih banyak ya, Wil." Papah menutup teleponnya dan menyimpan smartphone miliknya di atas meja.

"Siapa, pah?" Fajri duduk di hadapan papah.

"Eh, Ji. Kebetulan banget nih ada yang mau papah omongin."

"Ada apa, pah?" Fajri menatap heran papahnya yang terlihat serius.

"Aji kapan ujian akhirnya?"

"Akhir bulan ini, pah. Kenapa?"

"Mulai semester depan kamu ikut papah ya."

"Ha?" Kata itu terucap tanpa sadar dari mulut Fajri. "Maksudnya gimana, pah?"

"Kamu masih inget sama temen papah, Om Willy?" Fajri mengangguk pelan. "Iya, Papah baru aja dikasih pekerjaan di Jerman dan tadi Willy bilang ke papah kalau salah satu sekolah di sana terima siswa prestasi, khususnya prestasi basket. Kebetulan juga kan kamu punya banyak penghargaan, tadi papah juga kasih tau beberapa prestasi kamu dan Willy bilang besar kemungkinan kamu keterima di sana."

"Jerman, pah?" Papah mengangguk yakin. "Semester depan? Papah gak bercanda?"

"Kapan sih papah bercanda masalah pendidikan?"

"Kak Shella ikut?"

"Dia gak ikut, masih harus selesaiin skripsi di sini."

"Aji di sini aja bareng Kak Shella." Ucap Fajri cepat membuat papah kaget.

"Kenapa?"

"Gak apa-apa, Aji mau temenin Kak Shella aja di sini. Lagipula kan semester depan Aji kelas 3, sayang aja kalau harus pindah sekolah." Dengan gugup, Fajri menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal.

"Aji yakin? Sayang loh prestasinya kalau gak digunakan." Papah mulai mengerutkan alisnya ketika merasa anak laki-lakinya ini bertingkah aneh. Sangat jarang Fajri menolak tawaran papah, apalagi tentang pendidikan dan basket.

"Iya, pah. Aji yakin." Fajri mengangguk pelan.

"Di sana kemampuan Aji akan difasilitasi penuh, bisa berkembang lebih lagi." Papah masih berusaha untuk meyakinkan anak bungsunya.

"Aji percaya kok di sini juga Aji bisa berkembang."

"Tapi, Ji..."

"Pah, anak laki-laki papah itu keras kepala. Lagipula dia udah besar, biarkan dia menentukan pilihannya sendiri. Papah pernah bilang kan ke Shella kalau Shella gak boleh bergantung terus dengan pilihan papah karena resiko itu bakal datang ke Shella bukan ke papah. Jadi biarkan dia berjalan di atas kakinya sendiri mulai sekarang." Shella datang dari arah kamarnya, menghampiri papah dan Fajri di ruang utama. Fajri tersenyum tipis mendengar perkataan kakaknya yang seolah mendukung keputusannya.

"Papah mau yang terbaik buat anak papah." Papah menunduk perlahan membuat Fajri merasa bersalah.

"Pah, ma..."

"Tapi Shella bener, anak laki-laki papah emang udah besar, dia keras kepala sama seperti papahnya." Papah memotong kalimat Fajri dan menatap matanya. "Papah memang mau memberikan yang terbaik dan papah akan selalu berusaha memenuhi keinginan anak kesayangan papah. Kalau memang Aji ingin di sini, papah nitip untuk Shella bisa menjaga adiknya dengan baik." Papah melirik ke arah Shella dan terukir senyum di wajahnya. Shella ikut tersenyum dan mengangguk pelan.

"Gak, pah. Aji yang bakal ngejaga Kak Shella. Walau Aji lebih muda, tapi Aji mau berusaha buat gantiin sosok papah buat Kak Shella." Semua mata tertuju pada Fajri saat ini.

"Anak papah memang udah besar ya." Papah tersenyum haru, menghampiri kedua anaknya dan memberikan pelukan hangat.

"Seharusnya gue kagak di sini sekarang, tapi Kezia yang buat gue berada di sini." Fajri menyelesaikan ceritanya yang dia mulai saat Bu Dina dan laki-laki bertubuh tinggi itu meninggalkan kelas.

"Jadi, Fiki itu..." Zweitson tidak menyelesaikan kalimatnya, satu masa lalu Fajri yang selalu ditutupinya terungkap. Fajri menatap kosong ke arah pintu kelas.

Secret Admirer || UN1TY × StarBe [END]Where stories live. Discover now