BAB 50

1.7K 134 98
                                    

Saat ini Gibran tengah bersiap menuju rumah Arinta. Ia akan benar-benar mengantarkan mamanya bertemu dengan Bu Ningsih.

"Kamu sudah siap?" tanya Elsa mendekati putranya yang tengah berdiri di depan jendela kamar.

Gibran lantas berbalik badan. "Gibran tidak mau mama melakukan hal ini."

"Selama mama nanti di penjara, kamu jaga diri baik-baik. Jagain Bella juga, karena mama sekarang sayang banget sama dia."

Pelukan erat mereka berdua rasakan. Seolah-olah tak mau untuk berpisah. Ketukan pintu dari kamar Gibran, membuat keduanya sama-sama menoleh.

"Kak Gibran sama mama pelukan kok nggak ajak Bella, sih?" Bella masuk ke kamar dan langsung memeluk kakaknya.

"Sini mama peluk." Elsa merentangkan kedua tangannya.

Dengan cepat Bella beralih ke pelukan Elsa dan tanpa disadari Elsa meneteskan air mata. Walau dengan cepat ia menghapusnya, Gibran lebih dulu melihatnya.

Perasaan campur aduk, kini Gibran rasakan. Ingin sekali ia membantu mamanya, tetapi dirinya tidak bisa berbuat apa pun. Bahkan tadi di sekolah, ia tidak bisa membuat Arinta memaafkan kesalahan mamanya.

"Gibran ayo kita berangkat sekarang," ujar Elsa.

Bella yang nampak kebingungan lantas bertanya, "mama sama Kak Gibran emang mau ke mana? Kok Bella nggak diajak?"

"Kita mau pergi sebentar. Bella di rumah saja."

"Nggak boleh ikut, ya, Kak?"

"Kak Gibran sama mama tidak akan pergi lama, sekarang lebih baik Bella kembali ke kamar."

"Ya udah deh, Kak."

Elsa yang melihat Bella menggembungkan pipinya, tersenyum sambil mencubitnya. Sebenarnya sebelum Gibran lahir, Elsa sempat menginginkan anak perempuan dan sekarang terwujud—meski bukan dari rahimnya sendiri.

Gibran menyambar jaket dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja belajarnya. Saat sudah di depan rumah, tiba-tiba saja mamanya kehilangan keseimbangan.

"Mama kenapa?" tanya Gibran.

"Mama tidak apa-apa, sudah ayo kita berangkat sekarang," jawab Elsa.

"Apa tidak sebaiknya mama istirahat saja? Kita bisa ke rumah Bu Ningsih besok."

Elsa menggelengkan kepalanya dan masuk ke mobil, disusul oleh Gibran.

Tak terasa perjalanan begitu cepat, hingga mereka kini tiba di rumah Arinta. Gibran lantas membukakan pintu mobil dan membantu mamanya turun.

Firasat Gibran merasa aneh, sepertinya rumah di depanya saat ini terlihat sepi. Perlahan Gibran mulai mengetuk pintu dan tidak ada orang yang menyahut di dalamnya. Awal-awal ia berpikir jika Arinta dan ibunya tidak akan membukakan pintu untuknya, tetapi saat seorang lelaki paruh baya dengan cangkul di pundaknya mengatakan jika pemilik rumah itu sedang tidak ada di rumahnya.

Orang itu mengatakan jika Ningsih dibawa oleh seseorang masuk ke mobil dengan kondisi tak sadarkan diri dan entah kenapa pikirannya tertuju pada Sherin, setelah ia mendengar ciri-ciri yang disebutkan.

"Terima kasih, Pak atas informasinya."

"Iya, sama-sama."

Gibran beralih menatap mamanya yang tampak mengembuskan napas. "Mah, lebih baik sekarang kita pulang. Mama istirahat saja di rumah."

"Mama nggak tenang, Gibran. Lebih baik sekarang kamu telepon Sherin, mama yakin orang yang dimaksud bapak tadi itu pasti dia."

"Mama yakin mau menemui Bu Ningsih sekarang?"

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now