BAB 29

1.1K 111 54
                                    

Sekitar satu Minggu Sherin terbaring dengan mata terpejam di rumah sakit. Semua orang terdekatnya tak henti-hentinya memanjatkan doa pada Tuhan. Mereka berharap agar Sherin segera sadar.

Dua hari yang lalu, Sherin sempat berada dalam masa sulitnya. Bahkan dokter pun sudah mengatakan jika kemungkinan Sherin tak akan selamat, tetapi kuasa Tuhan yang membuat Sherin masih bertahan walau dengan keadaan komanya.

Berhubung hari ini weekend. Gibran berniat untuk menjenguk Sherin. Namun, sebelum ke rumah sakit, ia berniat mampir untuk membeli buku yang akan ia hadiahkan untuk Bella dan juga tahun ajaran baru nanti, Bella akan ia masukkan ke sekolah.

Saat sudah sampai di toko buku, Gibran tak sengaja melihat orang yang sangat ia kenal, dibawa oleh anggota kepolisian. Langkahnya membawanya untuk mendekat ke arah kerumunan polisi itu.

Betapa terkejutnya saat Gibran menanyakan apa yang terjadi pada salah satu anggota polisi, dimana ternyata sabotase truk satu Minggu yang lalu adalah ulah Reza—temannya bahkan sahabatnya sendiri.

Ketika Gibran hendak bertanya kembali, ponselnya berdering nyaring mengharuskan ia meraih benda seribu guna itu lalu menggeser tombol hijau ke atas. Terdengar suara Deni yang begitu memekakkan telinga di sana.

"Gib, lo udah tahu berita ini belum? Kalau ternyata Reza dalang sabotase truk itu." Sama halnya dengan Gibran, Deni pun terlihat kaget terlihat dari cara bicaranya.

"Saya sudah mengetahuinya dan kebetulan ini saya bertemu dengan Reza yang dibawa oleh kepolisian."

"Hah? Serius lo? Sumpah gue nggak nyangka ka—"

Gibran mematikan secara sepihak panggilan itu, ia segera berlari menuju motornya dan berniat untuk mengikuti mobil polisi yang sudah melesat pergi.

Niatnya ingin menjenguk Sherin Gibran urungkan begitu saja, karena menurutnya hal ini yang lebih mendesak. Ia tak habis pikir mengapa bisa sahabatnya itu melakukan hal diluar dugaan seperti ini. Padahal setahunya, Reza bukan anak berandalan.

Sesampainya di kantor polisi, Gibran tidak mendapat izin untuk bertemu dengan Reza. Selain Reza ia juga melihat ketiga teman yang waktu itu berkelahi dengan Reyhan, ternyata semua bukti dari Reyhan itu memang benar adanya. Hal itu membuat ia semakin penasaran, dari mana Reyhan mendapatkan bukti itu.

Dari kantor polisi Gibran beranjak menemui Reyhan, tetapi ia tidak mengetahui di mana keberadaan kakak kelasnya itu. Untung saja ia teringat nama akun Instagram Reyhan, hal itu membuatnya dengan segera mengirimkan direct message untuk bertanya keberadaan Reyhan. Lima belas menit setelahnya DM itupun terbalas.

-----

Ketika Reyhan mulai menyantap bakso di depannya, sambil bersantai riang di ruang keluarga. Suara dering ponselnya membuat ia menghentikan aksi makannya. Namun, baru saja hendak membukanya, ponsel itu tiba-tiba menampilkan lock screen hitam pertanda mati. Ia lantas mengambil benda kotak kecil lalu menyambungkan pada ponselnya, seketika muncul presentase baterai yang tinggal satu persen. Alhasil ia memutuskan untuk kembali  melanjutkan aksi makannya.

Sepuluh menit kemudian, Reyhan teringat kembali pada DM yang masuk tadi, sebab ia sempat melihat sekilas tadi jika yang mengirimkan itu adalah Gibran. Usai mengembalikan mangkuk ke dapur, ia menyalakan ponselnya dan membalas DM Gibran.

-----

"Lo mau ngomong apa sama gue?" tanya Reyhan lalu menduduki kursi di sebelah Gibran.

Tepat pukul sembilan pagi, Gibran dan Reyhan berada di sekitar sebuah kafe, tetapi tidak hanya mereka berdua saja. Deni pun sedang on the way menuju tempat ini.

"Sebentar saya sedang menunggu teman saya. Lebih baik Anda pesan makanan atau minuman, biar saya yang akan membayarnya."

"Gue bisa bayar sendiri kali!"  sinis Reyhan lalu memesan minuman.

Tepat setelah minuman itu sampai dan diletakkan di atas meja, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya.

"Sorry telat. Jadi, udah bahas sampe mana nih?" tanya Deni.

Mendengar hal itu, Reyhan menimpuk kepala Deni menggunakan topi yang ia pakai. "Udah kelar!" ujarnya dengan nada sedikit membentak.

"Lah, percuma dong gue ke sini? Tahu gitu mending gue jalan sama pacar gue tadi mumpung weekend."

"Bisakah jangan membahas hal lain di luar topik pembicaraan?"  tanya Gibran dengan raut wajah serius.

Seketika Deni terdiam. Memang susah jika berteman dengan Gibran, sebab sulit sekali untuk diajak bercanda. Padahal ia hanya berniat menetralkan suasana agar tidak terlalu tegang.

Gibran mengarahkan pandangannya pada Reyhan. "Bisa jelaskan sekarang, bagaimana Anda bisa mendapatkan bukti rekaman waktu itu? Saya harap kejujuran dari Anda."

Reyhan sedikit menggeser kursi yang didudukinya. "Sebelum lanjut, gue ada satu permintaan."

"Permintaan?" Gibran mengangkat sebelah alisnya.

"Bisa nggak lo ngomongnya biasa aja, panggil gue Rey."

"Rey? Apa tidak sebaiknya saya memanggil ada dengan sebutan Kak Rey?"

"Gue belum tua amat kali. Lagian gue nggak nyaman lo ngomong gayanya gitu."

"Oke, sebisa mungkin sa—"

"Gue! Bukan saya!" bentak Reyhan yang terlihat sangat kesal.

"Saya belum terbiasa, Rey. Lebih baik jelaskan sekarang."

Reyhan mulai menjelaskan semuanya. Mulai dari ia yang yang khawatir dengan kondisi Sherin dan berakhir ia menyelidiki semua itu. Hingga akhirnya, salah satu temannya di SMA Dirgantara lah yang memberitahunya tentang aksi sabotase itu.

"Terima kasih atas informasinya," ujar Gibran saat Reyhan berhenti berkata.

"Ck! Tahu-tahunya ini semua ulah temen lo sendiri. Nggak nyangka gue punya adkel pembunuh! Masih mending juga sikap gue, urakan, tapi nggak terbesit sedikitpun untuk ngebunuh orang!" cibir Reyhan.

"Diem lo!" sergah Deni yang tidak terima sahabat dekatnya dianggap pembunuh, walau memang seperti itulah kenyataannya.

"Nggak terima? Emang gue ngomong sesuai fakta, Bro! Dan kalau sampe hal buruk terjadi sama Sherin. Tuh pembunuh nggak bakal gue biarin tenang gitu aja di penjara!" Reyhan melenggang pergi.

Namun, Gibran mengejarnya dan menarik bahu kiri Reyhan.

"Segitu khawatirnya Anda pada Sherin? Bukankah setahu saya Anda tidak suka dengan Sherin, semenjak pertemuan malam itu?" tanya Gibran.

"Lo cemburu? Bukannya lo udah sia-siain Sherin, ya? Dia koma juga gara-gara lo kan? Andai lo nggak berduaan di luar gerbang dan kasih cincin sama cewek nggak jelas itu. Sherin nggak bakal kecelakaan dan koma seperti sekarang!" bentak Reyhan lalu memukul Gibran.

Sontak hal itu mengundang banyak perhatian pengunjung kafe. Gibran yang merasa tersulut emosinya, secara spontan memukul balik Reyhan. Beruntung Deni dengan sigap menjadi penengah di antara keduanya.

Lagi dan lagi Reyhan mengetahui hal yang berkaitan dengan Sherin, dari mana ia tahu semua itu jika bukan dirinya sendiri yang menyaksikan kejadian malam itu. Yap! Reyhan mengikuti Sherin yang berlari waktu malam pentas HUT Minggu lalu, sebab semenjak bertemu dengan Sherin. Ia menjadi penasaran olehnya. Entah hanya sebatas penasaran atau maksud lainnya.

.
.

Do you think Reyhan likes Sherin or not?

Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih.

Sampai ketemu di BAB 30.

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.

Formal Boy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang