BAB 11

1.3K 152 152
                                    

Udara pagi menyeruak masuk ke dalam rongga hidung. Sementara di luar rumah tampak dedaunan melambai-lambai, mengikuti arah angin menerpanya. Kicauan burung menghiasi gendang telinga Arinta yang saat ini tengah menyisir rambutnya.

Waktu baru menunjukkan pukul 6 pagi, Arinta segera bergegas keluar kamar untuk menemui ibunya yang sedang menyiapkan dagangannya. Hari Minggu seperti ini, ia memang sering menghabiskan waktu bersama ibunya, tentunya untuk membantu berjualan sayur keliling.

"Bu, kita berangkat sekarang?" tanya Arinta pada wanita paruh baya di depannya.

"Iya, Rinta, tapi sebentar ibu mau ke kamar mandi dulu," jawab Ningsih kemudian melenggang masuk ke rumah.

Arinta mengangguk. Kemudian ia duduk pada bangku kecil di depan rumahnya sambil bersenandung riang, menyanyikan salah satu lagu dari band ilir7 yang berjudul cinta terlarang. Entah kenapa sedari tadi dirinya tersenyum.

Semoga tiada yang terluka hanya karena cinta kita ...

Yang salah yang telah mendua ...

Semoga tiada yang kecewa hanya karena kita berdua ...

Yang mencinta dibalik mere—

Brak!

Nyanyian itu terhenti kala mendengar suara orang terjatuh dari dalam rumahnya. Arinta segera masuk dan betapa terkejutnya saat ia melihat ibunya yang terduduk di depan pintu kamar mandi, dengan tangan yang mengelus kaki dan mulut yang meringis kesakitan akibat terpeleset.

"Rinta bantu berdiri, Bu." Perlahan Arinta membantu ibunya berdiri, lantas duduk di kursi ruang tamu.

"Kaki ibu kayaknya memar itu. Apa mau Rinta panggil Mak Ijah dulu buat pijit kaki ibu? Biar rasa sakitnya nggak terlalu kerasa?"

"Tidak perlu, Rinta. Ini cuma sakit sedikit. Ya udah ayo kita berangkat."

Dengan cepat Arinta menggeleng. "Ibu di rumah aja hari ini, biar Rinta aja yang jualan sayur keliling."

"Beneran, Rinta?" Arinta mengangguk yakin, membenarkan pertanyaan ibunya.

Tak lama setelah itu, dia pamit pada Ibunya dan mulai mendorong gerobak sayur itu, sesekali berteriak sayur ... sayur ... berharap pembeli datang.

Bagi Arinta, ia sama sekali tidak mempermasalahkan apa yang dilakukannya saat ini—apalagi sampai malu. Meski pun ada beberapa orang lewat yang membicarakan dirinya. Ia sama sekali tidak memasukkan dalam hati perkataan mereka.

-----

Di sisi yang berbeda, Gibran bersama Bella berniat untuk pergi ke kebun binatang. Sekitar jam enam pagi mereka berdua sudah sampai di tempat. Tak sedikit orang  yang mengira, bahwa Bella itu adalah anaknya. Sampai-sampai Gibran punya pikiran, memangnya setua itu kah wajahnya? 

"Kak, kenapa dari tadi Bella dibilang anaknya Kak Gibran?"

"Tidak usah didengerin. Bella mau naik gajah?" tawar Gibran dan Bella pun mengangguk antusias.

Usai mengitari area kebun binatang, Gibran merasa lega, apalagi setelah melihat wajah bahagia Bella. Mulai dari menaiki gajah, memberi makan jerapah, ikan-ikan, dan mengambil gambar sudah ia lakukan bersama adik kecilnya. Tadi Bella sempat merengek padanya, karena tidak mau diajak berfoto bersama. Namun, untungnya ada penjual sosis bakar yang membuat Gibran bisa mengalihkan pembicaraan Bella.

Bahkan, Gibran sempat berandai-andai jika Bella ini adalah adik kandungnya, padahal jelas-jelas Bella itu anak dari asisten rumah tangganya yang sekarang telah tiada.

"Bella, kita pulang sekarang, ya? Kak Gibran mau pergi dulu," ungkap Gibran seraya menatap Bella dengan membungkukkan tubuhnya agar sejajar.

"Pergi ke mana?"

"Bella pasti sudah hafal kan?"

"Kak Gibran nggak capek? Masih sekolah udah kerja," ujar Bella yang saat ini tengah asik memakan sosis bakar dengan bibir yang belepotan saus.

"Selama ada Bella, Kak Gibran enggak akan capek."

Bella tersenyum mendengarnya, lalu ia mencium dahi Gibran secara spontan. Bahkan saus di bibirnya sampai menempel di sana.

"Ya udah, Kak. Yuk pulang sekarang."  

Perjalanan pulang terlihat biasa saja, tetapi begitu melewati lampu merah, ada seseorang yang berhasil mencuri pandang Gibran untuk mendekatinya. Alhasil ia menepikan motornya, lalu menghampiri cewek yang sedang tersungkur di bawah pohon rindang.

Berantakan. Semua sayur yang awalnya segar, kini sudah tak berbentuk lagi. Cewek yang membuat Gibran turun dari motornya tak lain adalah Arinta.

Gibran lantas membantu Arinta berdiri dan bertanya kenapa kejadian yang tidak diinginkan ini bisa terjadi. Rupanya kejadian itu disengaja oleh salah seorang murid SMA Dharmawangsa yang tidak suka dengan Arinta.

"Anda tidak apa-apa?" tanya Gibran untuk kesekian kalinya.

"Baik-baik aja kok, Kak. Cuma ...." Arinta tidak meneruskan perkataannya, ia menatap nanar sayur-sayuran yang berceceran di atas tanah itu.

"Baiklah, biar saya yang akan ganti rugi semuanya," papar Gibran sambil membuka dompetnya.

Begitu Gibran menyodorkan beberapa lembar uang, Arinta menolaknya. "Nggak perlu, Kak. Ini juga bukan salah Kak Gibran."

Walau Gibran memaksa, Arinta pun juga tak mau kalah untuk memaksa menolaknya. Dia merasa jika Gibran sudah banyak membantu dirinya, terlebih sekarang ini dia bisa bekerja berkat bantuan Gibran.

"Ya sudah, mari saya antar." Pandangan tulus tercipta dari mata Gibran.

"Eh? Nggak usah, Kak. Kak Gibran kan sama Bella, lagi pula gue juga harus dorong nih gerobak."

Pandangan Gibran tiba-tiba tertuju pada kaki Arinta yang berdarah, dia kembali lagi ke motornya dan mengambil kotakPT3K yang ada di jok motornya.

"Biarkan saya obati kaki Anda," Gibran memandang lekat Arinta. "dan jangan menolaknya."

"Cuma luka kecil aja, Kak. Palingan ntar juga sembuh sendiri."

"Kata Kak Gibran, walaupun luka kecil, tapi itu harus diobati, Kak. Ntar invensi lagi," cetus Bella yang sedari tadi hanya diam.

"Inveksi Bella, bukan invensi."

"Hehehehe, Bella tadi salah ya, Kak Gibran?"

Gibran mengangguk. Kini dia tengah fokus untuk mengobati kaki Arinta.

Melihat kondisi kaki Arinta yang tidak bisa dibilang luka kecil itu, membuat Gibran secara spontan mengendong Arinta menuju motornya berada. Sementara Bella hanya senyum-senyum melihat tingkahnya itu, sambil membuntuti langkah kakaknya.

"Maaf, tadi saya lancang gendong Anda. Sepertinya kondisi Anda sekarang tidak memungkinkan untuk berjalan, apalagi sambil mendorong gerobak. Mungkin memang lebih baik Anda pulang bersama saya. Masalah gerobak itu," Gibran menunjuk ke arah gerobak sayur milik Arinta. "biar nanti di ambil sama Haris dan dia juga yang akan mengantarkannya."

"Makasih, Kak. Maaf jadinya kalau gue ngerepotin."

.
.

Bagaimana dengan Bab 11?

Kalau ada yang salah kata atau apapun, coba Coment dong. Biar tahu letak kesalahannya di mana. 😁🤭

Jangan lupa tekan tombol bintang di bawah 👇🌟

Sekian dan Terima Kasih

Sampai ketemu di BAB 12

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now