BAB 16

1K 107 21
                                    

Dari UKS sekolah, Gibran dan Sherin beranjak ke ruang musik. Mereka berjalan, tetapi tak beriringan. Sherin mengikuti Gibran di belakang, sambil mengerucutkan bibirnya. Dia mengira Gibran akan mengandengnya, ternyata itu hanya sebatas bayangan saja.

Namun, begitu mereka sampai di ruang musik. Ada sekitar tujuh orang berada di dalam, mungkin mereka juga lagi latihan. Alhasil, Gibran mengajak Sherin untuk ke samping gudang. Di sana ada sebuah kursi panjang, tepatnya di bawah pohon mangga.

Saat sampai di tempat, Sherin segera duduk lalu mengelus kakinya yang tiba-tiba terasa pegal. Sementara Gibran masih dengan posisi berdiri, memasukkan satu tangannya pada saku celana.

Tunggu-tunggu, sepertinya Gibran melupakan sesuatu. Yap! Gitarnya masih berada di kelas.

"Saya ambil gitar dulu, tetap di sini dan jangan ke mana-mana!"

"Iya, Kak."

Sepeninggal Gibran, Sherin merasa bosan. Apalagi ini pertama kalinya dia  berada di tempat ini. Hawa semilir dari angin membuat dia menguap, lantas menyenderkan kepalanya pada punggung kursi. Dua menit setelahnya, dia sudah menjelajah ke alam mimpinya.

-----

Gibran berjalan dengan langkah tegapnya, sembari membawa gitar di tangannya. Tiba-tiba dari arah samping terdengar keributan, yang tercipta oleh segerombolan siswi. Dia lantas menghampirinya, dan betapa terkejutnya dia saat melihat jika satu diantara mereka menampar seseorang yang dikenalnya. Bahkan orang itu sampai basah kuyup, mungkin karena minuman yang sengaja disiram pelaku.

Seketika semua diam kala melihat Gibran yang mendekat, bahkan ada yang sudah pergi menjauhi kerumunan. Mereka lebih memilih pergi dari pada harus berhadapan dengan ketua OSIS SMA Dharmawangsa. Namun, masih tersisa dua siswi di sana.

"Apa yang kalian lakukan?"

"Emang gue lakuin apa? Perasaan gue hanya diam di sini. Ya nggak, Ris!" ujar seorang siswi bername-tag Novita, dan Riris di sebelahnya mengangguk membenarkan perkataan Novita. 

Gibran membantu Arinta berdiri. Yap! Orang yang menjadi sasaran Novita itu adalah Arinta. Bahkan ini bukan pertama kalinya dia menegur Novita, karena waktu itu dia pernah memergoki Novita melakukan hal sama, tetapi dengan orang yang berbeda.

Saat melihat seorang siswi berkacamata yang tidak Gibran kenal, dia menghentikan langkahnya dan meminta dia untuk mengantar Arinta ke kamar mandi.

Selepas kepergian Arinta dan siswi berkacamata itu, Gibran melanjutkan tugasnya.

"Anda tidak mau mengakui kesalahan yang Anda perbuat?" Gibran memandang tajam Novita. 

"Gue nggak salah!" bentak Novita.

"Bohong!"

"Oke, gue ngaku! Gue yang udah tampar cewek nggak jelas ini! Salah siapa dia nabrak gue."

"Hanya itu? Anda sampai tega mengguyur dia dengan minuman, dan menamparnya?"

"Iya, emang kenapa? Nggak boleh? Jangan mentang-mentang lo ketos di sini, lo bisa seenaknya sama gue. Kalau lo lupa, gue ini anak dari pemilik yayasan sekolah ini!"

"Saya balik. Jangan hanya karena Anda anak dari pemilik yayasan sekolah ini, Anda bisa bersikap semaunya. Saya di sekolah ini mengemban tanggung jawab sebagai ketua OSIS, dan sudah sepantasnya saya menegur Anda yang berbuat salah."

Kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Gibran, mengundang senyum siswi yang kebetulan lewat. Mereka sangat kagum, sampai-sampai ada yang berteriak I Love You pada Gibran secara terang-terangan.

Dengan wajah tertekuk, Novita terdiam. Terlihat sekali jika dia kalah telak dengan ucapan Gibran.

"Lebih baik sekarang Anda ikut saya ke ruang BK, dan yang lain kembali ke aktivitas masing-masing!" Gibran menarik paksa tangan Novita dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih membawa gitar.

Tenaga Novita yang tak sebanding dengan Gibran, membuatnya tidak bisa melepaskan cengkraman itu. Sementara Riris—temannya. Dia justru meninggalkannya.

-----

Satu jam kemudian, Sherin terbangun dari tidurnya. Dia celingukan mencari keberadaan Gibran, tetapi tak melihatnya.

"Astaga! Sudah jam sembilan, berarti aku ketiduran di sini satu jam dong? Ish! Kenapa bisa sampai ketiduran, sih aku." Sherin terlihat kaget saat melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan.

"Eh, tapi kok Kak Gibran belum ke sini juga, ya? Masa iya ambil gitar di kelas sampai sejam, atau jangan-jangan Kak Gibran sudah ke sini dan lihat aku tidur, terus pergi?" Sherin menghentakkan kakinya di atas rerumputan.

Sherin menggelengkan kepalanya. "Ah nggak-nggak, pasti Kak Gibran belum balik ke sini karena ada urusan. Aku tunggu aja, deh."

Untuk mengurangi rasa bosan yang kembali melanda. Sherin bersenandung riang, dan membuka akun Instagram-nya. Namun, tak ada yang menarik baginya sehingga dia pindah pada aplikasi game memasak. Walau sudah SMA, dia masih suka memainkan game itu.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit, dan Sherin belum beranjak dari duduknya. Padahal dalam pikirannya sudah berkata jika Gibran tak akan kembali lagi ke sini, tetapi tidak dengan hatinya.

Hingga seseorang datang menghampirinya, orang itu adalah Nadia.

"Lagi ngapain lo di sini, Sher? Sendirian lagi," celetuk Nadia.

"Eh, ada Kak Nadia. Sini duduk dulu, Kak."

Nadia duduk di sebelah Sherin. Dia lantas mengambil ikat rambut di saku seragamnya, dan menguncir rambutnya.

"Oh, aku lagi nunggu Kak Gibran, Kak, tapi sudah dua jam nggak dateng-dateng."

"Dua jam? Gila, lama bener. Kalau gue jadi lo, udah gue tinggalin. Emang lo mau ngapain sama Gibran?"

"Aku nanti mau isi pensi sekolah sama Kak Gibran. Hehehehe," ujar Sherin diakhiri tawanya.

"Wah keren dong, tapi tadi gue lihat Gibran sama Arinta di depan kamar mandi, dan Gibran kaya nyerahin sesuatu gitu sama Arinta."

"Kak Nad nggak salah lihat 'kan?"

"Nggak, gue yakin. Coba sana lo samperin Arinta. Gue mau nenangin pikiran dulu di sini."

"Ya sudah, Kak. Aku tinggal, ya."

Baru tiga langkah, Sherin kembali memutarkan tubuhnya. Dia mengeluarkan kembali handphone-nya dan duduk di sebelah Nadia. Sementara Nadia menatapnya heran.

"Kenapa nggak jadi?"

"Tadi kata Kak Gibran, aku nggak boleh ke mana-mana. Ya sudah, aku tungguin lagi, deh. Kak Nad nggak keberatan kan aku di sini?"

"Nggak juga, sih, tapi saran gue lo balik kelas. Nanti kalau Gibran ke sini, gue kasih tahu lewat pesan."

"Gitu, ya?"

"Iya! Buruan sana pergi! usir Nadia pada saudara sepupunya yang menurut dia terlalu polos—sifatnya.

Usai Sherin benar-benar menjauh, Nadira menggelengkan kepalanya. Dia heran, mengapa sepupunya itu melabuhkan hatinya pada Gibran. Yah, memang, sih. Gibran itu tampan, sopan, pintar juga. Namun, menurut dia pribadi Gibran itu terlalu kaku dan sulit untuk sedikit merasa tak nyaman.

.
.

Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih.

Sampai ketemu di BAB 17.

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now