BAB 5

1.7K 230 320
                                    

"Gib, habis ini lo mau langsung ke kafe?" tanya Reza pada Gibran.

"Iya," jawab Gibran dengan wajah datarnya.

"Nggak ikut nongkrong?" tanyanya sekali lagi yang justru mendapat jitakan dari Deni.

"Halah Rez, percuma lo nanya gitu. Padahal lo sudah tahu jawabannya," timpal Deni.

"Hmm." Reza hanya berdeham menanggapi perkataan Deni, sambil mengelus-elus rambutnya.

"Ya udah Gib, gue sama Reza cabut duluan." Deni menepuk pundak kanan Gibran sebelum akhirnya beranjak dari parkiran sekolah, disusul oleh Reza dan meninggalkan dirinya sendirian.

Sebenarnya hari ini rencana Gibran adalah mencari seorang yang bersedia menyanyi untuk bekerja di tempatnya. Sedari tadi dirinya mencoba menghubungi Haris—asistennya. Namun, tidak bisa terhubung. Saat dia hendak menyalakan motornya, tanpa disengaja pandangannya tertuju pada sebuah sticky note yang tertempel di helmnya.

Terima Kasih kemarin sudah anter aku pulang. Meskipun tadi, Kak Gibran ngasih makanan dari aku ke orang lain, besok akan aku coba lagi, plis  diterima ya. -Sherin imut.

"Ada-ada saja dia," ujar Gibran lalu meremas sticky note dan melemparkannya ke arah tempat sampah.

Tanpa disadari sedari tadi, Sherin memperhatikan kejadian itu. Beruntung sekali pesan yang dikirimkan sempat dibaca oleh Gibran, yah walaupun ujung-ujungnya masuk tempat sampah.

"Sher, yuk pulang."

"Iya, Kak."

-----

Menjadi seorang pengusaha, berstatus pelajar. Bukanlah hal mudah. Karena, kita harus bisa me-manage waktu sebaik mungkin, agar keduanya bisa terpenuhi. Hal itu yang dialami oleh Gibran, dimana dia harus mengurus cafe sambil bersekolah, ditambah jabatannya sebagai ketua OSIS. Walaupun, terkadang dirinya berada di titik terbawah, dimana pikirannya stuck, seolah lelah dengan semuanya. Namun, bagaimanapun juga dirinya adalah tulang punggung keluarga, ditambah mamanya membutuhkan banyak biaya dan kebutuhan rumah lainya.

Hal itulah yang membuat ia menjadi seorang remaja berpola pikir dewasa, disaat teman-temannya menghabiskan masa SMA mereka, ia justru sibuk akan banyaknya pekerjaan yang harus diurus. Contohnya sekarang, ia harus merelakan waktu istirahatnya untuk mencari seseorang yang bersedia menyanyi di cafenya. Sebenarnya bisa saja Gibran membuat pengumuman online. Tetapi, tentu saja akan membutuhkan waktu yang lumayan lama, daripada dirinya mencari sendiri di tempat kursus les vokal.

Tanpa disengaja, saat motor yang dikendarainya berhenti tepat di lampu merah, ia mendengar suara nyanyian yang merdu dan benar saja, di sampingnya ada seorang cewek entah itu siapa, sedang bersenandung riang menyusuri jalanan. Namun, dilihat dari seragam yang dikenakannya, sepertinya dia satu sekolah dengannya. Alhasil Gibran memutuskan untuk mengikutinya dari belakang.

Ketika sampai di rumah yang sangat sederhana, cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Sepertinya, dia belum menyadari kalau sedari tadi ia mengikutinya.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Kak Gibran? Kenapa bisa ada disini?" tanya Arinta yang keluar dari rumah itu.

Cewek yang diikuti Gibran 'diam-diam' adalah Arinta–sahabatnya Sherin. Memang sih, Arinta memiliki suara yang bagus. Tetapi, dia tidak pernah menunjukkan di depan orang lain, selain Sherin dan ibunya.

"Anda mengetahui nama saya?"

"Jelas tahulah, gue adik kelas Kak Gibran di sekolah, satu kelas sama Sherin. Tahu Sherin, kan?"

"Jadi anda satu kelas dengan, She-rin?" Arinta mengangguk setuju.

"Eh, Kak. Ayo masuk nggak enak ngomong sambil berdiri. Eh tapi maaf nih rumah gue begini," ujar Arinta dengan nada sendu menatap keadaan rumahnya.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now