BAB 40

1.4K 131 115
                                    

"Ngomong-ngomong sekarang kamu sama Kak Gibran pacaran, ya?"

Baik Gibran mau pun Arinta terdiam kala mendengar perkataan yang terlontar dari Sherin.

"Lo ngomong apaan sih, Rin? Gue sama Kak Gibran itu cuma sebatas atasan dengan bawahan kerja, juga gue sebagai adik kelasnya."

"Menurut aku, ya, kalian berdua serasi tahu." Sherin mengatakan hal itu seolah tanpa adanya beban.

Padahal jauh dari dalam lubuk hatinya merasa sakit, tetapi ia berusaha menutupinya karena memang bertekad untuk melupakan Gibran.

"Pacaran aja sekarang. Aku tahu Kak Gibran suka kan sama sahabatku ini?" tanya Sherin pada Gibran.

Kala mengucapkan beberapa kata tadi, Sherin justru mendapat cubitan yang mendarat di tangannya oleh Arinta. Namun, karena itulah sekarang ia tertawa lepas sebab berhasil menggoda sahabatnya. Walau pun saat ini Sherin sendiri tengah menunggu reaksi dari Gibran.

Sayangnya ketika Gibran terlihat hendak berbicara, seseorang datang dengan camilan di tangannya.

"Kalian lagi ngomongin apa?" Rina meletakkan camilan yang ia bawa ke meja dan kemudian disusul oleh Bi Ida yang datang membawa minuman.

"Biasa lah, Bun. Masalah anak muda," ungkap Sherin diakhiri cekikikan.

"Oh, ya sudah lanjutkan. Biar Bunda ke kamar dulu."

"Oke, Bun." Sherin mengarahkan dua jempol ke arah bundanya.

Suasana mendadak canggung, tak ada yang memulai percakapan semenjak Rina memutuskan untuk ke kamarnya, tetapi suara musik yang didominasi gendang dari luar rumah membuat mereka bertiga keluar untuk mengeceknya. Sherin tentunya dibantu oleh Arinta.

Ternyata ada segerombolan orang yang berjalan dengan alat musik yang dipegangnya dan beberapa hiasan yang dibuat mereka. Ada juga aksi sulap yang ditunjukkan oleh pria berjaket biru dan membuat sebuah kerumunan terjadi di depan rumah Sherin.

"Wah, tumben ada pawai gitu, ya? Jadi pengen lihat deh," celetuk Sherin sambil menggerakkan kursi rodanya untuk mendekat ke arah kerumunan itu. Namun, dicegah oleh Gibran.

Sementara Arinta kembali masuk ke rumah Sherin, karena niatnya yang ingin buang air kecil.

"Kak Gibran! Lepasin! aku mau lihat itu," tunjuk Sherin ke arah kerumunan.

"Lebih baik Anda di sini saja."

"Kalau di sini nggak kelihatan, Kak!"

"Dari pada berdesak-desakan? Bahaya dengan kondisi Anda yang sekarang, lebih baik Anda di sini saja. Di sebelah saya."

Perkataan Gibran sukses membuat Sherin tersenyum, tetapi menit selanjutnya ia sadar dengan posisinya sekarang. Alhasil tanpa sepengetahuan Gibran yang masih fokus melihat pawai, Sherin kembali masuk dalam rumahnya.

Menyadari Sherin yang sudah tak ada di sebelahnya, Gibran segera menyusul dan menutup kembali pintunya. Ketika sudah kembali berada dalam ruang tamu. Gibran melihat Sherin yang tengah kesusahan mengambil sebuah buku di atas meja.

"Saya masih di sini kalau Anda lupa." Gibran mengambil buku yang ternyata adalah sebuah novel lalu memberikannya pada Sherin.

"Makasih."

Sebisa mungkin Sherin memasang raut wajah jutek di depan Gibran—tidak seperti biasanya yang selalu tersenyum sumringah.

"Anda suka membaca novel?" tanya Gibran ketika baru saja duduk di sofa.

Sherin memalingkan wajahnya lantas mengangguk, kemudian ia mulai membuka novel di tangannya dan larut membaca setiap huruf yang berhasil membentuk alur cerita di dalamnya.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now