empat puluh enam

1.8K 244 39
                                    

Tiara berjalan gontai memasuki rumahnya, bahkan ia tidak melihat keberadaan Raka di sofa ruang tamu. Raka yang melihat kedatangan Tiara pun ikut mengerutkan keningnya, bingung. Matanya sembab, gadis itu juga menarik ingus. Apa Tiara baru saja menangis? Itulah pertanyaan yang muncul pada benak Raka. Dengan bermodalkan keyakinan, Raka berjalan mendekati Tiara yang hendak menginjak tangga.

"Tiara," panggilnya.

Tiara menolehkan wajahnya. "Pak Raka masih di sini?" tanya Tiara sambil memasang senyumannya.

"Darimana?" tanya Raka.

"Ketemu sama orang."

"Siapa?"

"Aku capek, aku ke kamar dulu." Setelah berucap demikian, Tiara kembali memalingkan wajahnya lalu kembali menaiki tangga menuju kamarnya.

Raka yang merasa perubahan sikap Tiara hanya dapat bertanya-tanya dalam hati. Saat sibuk berpikir, tiba-tiba getaran pada ponselnya membuyarkan lamunannya.

Pak Hendra
[Malam ini saya pulang.]
[Ada yang ingin saya sampaikan kepada kamu dan keluarga.]

Anda
[Baik.]

Raka semakin dibuat terheran-heran dengan pesan tiba-tiba dari Hendra. Jika menghitung hari, Hendra masih memiliki jadwal di luar kota. Lantas apa yang membuat pria itu kembali sebelum waktunya selesai?

***

Selama di kamar Tiara tak henti-hentinya menangis. Bantal yang ia gunakan untuk menopang wajahnya pun ikut basah karena air matanya. Isak tangisnya mengisi kesunyian kamarnya yang luas. Tapi bagaimanapun juga, kodrat seorang manusia hanyalah mengikuti alur hidup yang telah dirangkai sedemikian rupa oleh sang pencipta. Manusia hanya perlu bersyukur atas apa yang mereka dapat, jika di luar harapan manusia, pasti memanglah bukan takdir baik untuk kehidupan kedepannya.

"Astaghfirullahal'adzim."

"Nggak boleh nangisin keputusan yang udah aku buat. Insyaallah, ini jalan yang baik," batin Tiara.

Tok tok tok!

Narti mengetuk pintu kamar Tiara dari luar. Sudah hampir enam setengah jam Tiara terus-menerus di dalam kamar hingga melupakan jam makan malam. Narti yang khawatir akan keadaan Tiara pun menghampiri gadis itu ke kamarnya, tetapi tidak ada sahutan dari sang pemilik kamar. Dengan perlahan Narti membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.

"Ya Allah, Mbak!"

Betapa terkejutnya Narti melihat keadaan Tiara yang cukup mengenaskan. Hijab yang terlepas hingga menampilkan rambutnya yang berantakan. Wajah pucat serta mata sembap dan jangan lupakan beberapa botol obat yang berserakan di lantai kamar.

"Mbak Tiara kenapa, Mbak?" tanya Narti seraya memapah tubuh Tiara dan menggunakan pahanya sebagai bantalan kepala Tiara.

Gadis itu sudah tidak sadarkan diri. Narti yakin Tiara sehabis menangis habis-habisan.

"Mas Raka!" seru Narti dengan kencang berharap Raka dapat mendengar teriakannya dari lantai atas.

"Mas Raka! Tolong, Mas!" serunya lagi.

Narti mendengar langkah kaki yang tergesa-gesa dari luar. Dengan cepat Narti menutupi wajah Tiara menggunakan selimut agar menutup seluruh aurat gadis itu yang terbuka.

"Kenapa, Bi?" tanya Raka panik, terlihat dari wajahnya.

"Ini Mas ... Mbak Tiara."

"Tiara kenapa, Bi?" tanya Raka.

"Kayaknya Mbak Tiara sakit, tolong bawa ke rumah sakit Mas," pinta Narti dengan nada khawatir.

"Saya siapin mobil dulu, rapikan baju dan kerudung Tiara."

Narti menganggukkan kepala paham lalu Raka berjalan cepat menuju garasi di mana mobilnya berada. Dengan telaten Narti memakaikan kerudung langsung pada Tiara lalu ia rapikan baju Tiara.

Setelah selesai menyiapkan kendaraan, Raka kembali ke kamar Tiara dan menggendong gadis itu. Raka tak henti-hentinya berdoa dalam hatinya agar Tiara baik-baik saja. Semakin ke sini, semakin banyak pikiran tentang Tiara. Apa saja yang gadis itu sembunyikan selama ini.

Raka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat tiba di rumah sakit. Di bangku belakang terdapat Narti yang menjaga Tiara agar tidak terbentur apapun. Bahkan wanita itu sudah menangis melihat keadaan Tiara saat ini.

Begitu tiba di rumah sakit, perawat langsung bersiap siaga memindahkan Tiara ke atas brankar.

"Bapak tolong tunggu di luar," tahan seorang suster pada Raka yang memaksakan dirinya untuk ikut masuk ke dalam ruangan.

Raka menghela napas berat lalu mengambil ponselnya dari saku celana untuk menghubungi keluarga di rumah dan juga ayah Tiara.

***

Suara langkah sepatu pantofel pria mengisi kesunyian malam di rumah sakit yang ditempati Tiara saat ini. Wajah panik dan khawatir tercetak jelas pada wajah Hendra setelah mendengar kabar bahwa putrinya masuk rumah sakit. Ia benci rumah sakit, tempat di mana orang tercintanya justru menghabiskan sisa hidupnya di gedung seperti ini.

Begitu tiba di ruang rawat putrinya, ia langsung menatap tajam Raka dan melayangkan tinjuan pada rahang kiri Raka. Sontak Narti dan Agus yang menyaksikannya terkejut dengan tindakan tiba-tiba dari Hendra.

"Kamu apakan putri saya?!" tanya Hendra sembari menarik kerah baju Raka.

Raka yang diperlakukan demikian oleh Hendra hanya diam tidak melawan maupun membantah. Ia yakin bahwa Hendra saat ini tengah kalut begitu tahu putrinya sakit.

"Maaf sebelumnya, mari kita bicarakan di luar. Tiara mungkin bisa terganggu," saran Raka sambil berusaha tenang.

Saat hendak menarik keluar, tiba-tiba suara lenguhan Tiara terdengar. Sontak seluruh atensi tertuju pada Tiara yang tengah mencoba membuka matanya setelah satu jam tertidur.

Hendra langsung melepaskan cengkraman tangannya pada kerah Raka dan beralih mengusap puncak kepala Tiara.

"Bapak?" lirih Tiara.

Hendra tak mampu lagi menahan tangisnya. Ia menatap sendu putrinya itu. "Kamu kenapa, Nak? Kamu janji sama Bapak nggak bakal bikin khawatir ...."

Tiara tersenyum kecil. "M—maaf, Pak. Tiara lagi capek ...," sahutnya lirih.

Begitu Tiara sadar, Narti langsung berinisiatif memanggil dokter. Tak butuh waktu lama dokter yang menangani Tiara tiba di ruangan lalu mulai memeriksa perkembangan gadis itu.

"Di usia remaja memang rentan depresi dan merasa tertekan. Tiara hanya perlu beristirahat dan juga memberi istirahat pada jiwa dan otaknya agar tidak terlalu overthinking. Dukungan orang terdekatnya juga sangat dibutuhkan," ujar sang Dokter setelah selesai memeriksa Tiara.

Hendra mengangguk paham lalu mengikuti sang dokter untuk ikut ke ruangannya agar dapat leluasa berbincang lebih lanjut mengenai Tiara.

Raka menatap Agus dan Narti secara bergantian. Narti dan Agus yang paham akan maksud Raka pun langsung keluar ruangan dan meninggalkan mereka berdua.

"Tiara, sebenarnya apa yang kamu sembunyiin?" tanya Raka setelah mendudukkan dirinya di kursi yang bersebalahan dengan ranjang Tiara.

Tiara menatap Raka dengan tatapan sayu lalu tersenyum tipis. "Pak ...."

"Jangan panggil saya seperti itu," tegur Raka yang seakan tidak menyukai panggilan Tiara untuknya.

"Kita batalin aja perjodohan ini."

Raka Untuk TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang