tiga belas

2.3K 256 3
                                    

Rini yang melihat Tiara termenung pun langsung berinisiatif mengusap punggung sahabatnya dengan lembut. Ia yakin pasti Tiara memikirkan ucapan Alya sewaktu di kantin tadi. Terlebih lagi Alya mengatakan hal tersebut di kantin dan pasti ada beberapa orang memperhatikan mereka.

"Apa aku pindah sekolah aja ya?" tanya Tiara.

Rini lantas memukul punggung Tiara pelan. "Ngawur! Bentar lagi kita kelas tiga. Nanggung kalo mau pindah," ujar Rini.

"Ah kamu mah mukul terus, lama-lama jantung aku jatoh nih nabrak ginjal."

"Ya lagian ngomongnya ngaco. Udah nggak usah didengerin tuh Mak Lampir." Tiara menganggukkan kepalanya pelan.

"Tiara dipanggil Pak Raka!" seru salah satu teman sekelas Tiara.

Tiara mendongakkan kepalanya menatap temannya. "Ngapain?"

"Ya kagak tau lah. Sono, ditungguin di ruangan Pak Raka," ujarnya.

Tiara tersenyum misterius lalu menatap Rini dengan wajah anehnya. "Muehehehehe. Calon suami memanggil Adinda. Papay calon janda," ujar Tiara seraya bangkit dari duduknya.

Rini yang diejek oleh Tiara hanya memandang jengkel ke arah gadis itu. "Awas aja kamu!"

Tiara berjalan cepat menuju ruangan Raka. Sesekali ia membalas sapaan teman-temannya selama perjalanan. Sampai akhirnya ia tiba di depan pintu ruang guru. Tiara menyapa beberapa guru yang ada di dalam sembari berjalan menuju ruangan khusus yang tadinya dihuni oleh Pak Wahyu. Ruang guru di sekolahnya cukup luas, karena di dalamnya ada beberapa ruangan khusus, salah satunya ruangan pribadi yang tidak begitu luas, hanya cukup meja kursi dan lemari berisikan berkas-berkas tiap ruangan.

"Assalamu'alaikum, Pak."

"Wa'alaikumsalam. Masuk!"

Tiara menutup kembali pintu ruangan lalu berjalan mendekat.
"Ada apa, Pak?" tanya Tiara.

"Soal perjodohan——" belum sempat Raka menyelesaikan ucapannya, Tiara sudah lebih dulu mengangkat tangannya untuk menahan kalimatnya.

"Diem dulu Pak! Saya belum siap ditolak," ujar Tiara seraya menutup telinganya menggunakan kedua tangan.

"Siapa yang nolak?" tanya Raka.

Tiara lantas melonggarkan tangannya dari telinga. "Bapak emang nerima?"

Raka mengangguk singkat sebagai tanggapan.

"SUMPAH?!"

Raka sontak menatap tajam gadis itu yang secara tiba-tiba memekik kencang.
"Tiara!" tegurnya.

"Ehehe, maap Pak."

"Pulang sekolah tunggu saya," ujar Raka sambil membuka bukunya.

Tiara menganggukkan kepalanya cepat. Ia pun membalikkan tubuhnya hendak keluar dari ruangan Raka dengan perasaan berbahagia. Layaknya mimpi, Tiara mencubit pipinya untuk menyadarkan dirinya.

"Awh. Nggak mimpi ternyata," ujar Tiara.

"Bikin ulah apa lagi kamu Ra?" tanya Agung begitu melihat keberadaan salah satu muridnya.

"Ih si Bapak mah. Di mata Bapak emang saya bikin ulah mulu apa?"

Agung tertawa kecil lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Kalo kamu nggak bikin ulah sehari tuh kayak ada yang kurang aja di mata saya," sahut Agung.

***

Sesuai permintaan Raka, kini Tiara tengah menunggu kedatangan Raka ke kelasnya untuk menjemput. Ditemani oleh sahabatnya, Tiara tidak begitu merasa kesepian.

Raka Untuk TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang