sebelas

2.4K 282 8
                                    

"Raka," panggil Wahyu begitu Raka berjalan melewatinya.

Raka menghentikan langkahnya lalu membalikkan badannya menatap sang ayah.
"Kenapa, Pa?"

"Bagaimana keputusanmu?" tanya Wahyu.

"Ingat Raka, usia  Papa tak lagi muda. Kesehatan Papa juga bisa kapan saja drop. Papa nggak mau melewatkan waktu untuk melihat kamu berkeluarga," ujar Wahyu.

Raka terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Beri Raka sedikit waktu lagi."
Setelah berucap demikian, Raka pun kembali melanjutkan langkahnya.

Wahyu menghela napas pelan lalu kembali melanjutkan aktivitasnya membaca koran.
"Anak itu."

Di hari Minggu yang cerah ini Raka memutuskan untuk pergi jalan-jalan sekadar mencari angin. Ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan normal melewati jalanan sekitar Jakarta yang tidak begitu macet. Raka pun teringat sesuatu hal bahwa ia kemarin diberi rekomendasi kafe baru yang katanya cukup menenangkan. Ia pun menjalankan mobilnya menuju kafe yang dimaksud.

Di pertengahan jalan, mata Raka tak sengaja menangkap sosok gadis tengah sibuk berbincang dengan seekor kucing di bahu jalan yang sepi. Ia menghentikan mobilnya tepat di belakang gadis itu lalu membuka pintu mobilnya.

"Tiara." Gadis itu menoleh lalu tersenyum senang begitu melihatnya.

"Hallo, Pak Raka."

"Apa kamu selalu menyapa saya setiap bertemu?" tanya Raka dengan ekspresi seperti biasa, datar.

Tiara hanya terkekeh pelan lalu menggendong kucing yang sempat gadis itu ajak bicara.
"Temo juga mau nyapa Pak Raka. Hallo, Pak Raka." Tiara menggerakkan satu kaki kucing dengan gerakan layaknya melambaikan tangan.

Raka tersenyum tipis lalu membalikkan tubuhnya hendak kembali ke dalam mobil.

"Mau kemana Pak?" tanya Tiara.

"Pergi," sahut Raka seadanya.

Tiara pun langsung berjalan cepat menuju mobil Raka. Tanpa persetujuan dari pemiliknya, Tiara langsung membuka pintu dan duduk tepat di sebelah kursi kemudi.

"Saya belum mengizinkan kamu masuk," ujar Raka.

"Saya ikut dong, Pak." Raka menggelengkan kepalanya lalu menghidupkan mesin.

"Dari mana?"

"Abis main sama temen," sahut Tiara sembari mengelus puncak kepala kucing kecil tersebut dengan lembut.

"Lalu, di mana teman kamu?"

"Ya aku ditinggallah. Aku nggak bawa uang," sahut Tiara dengan enteng.

Raka sontak menatap gadis di sebelahnya. "Kenapa begitu?" tanya Raka.

"Ih, Bapak nanya mulu deh. Mau turunin saya juga?"

"Enggak."

Setelah melewati perbincangan singkat, kini suasana mobil kembali hening. Raka sibuk mengemudi sedangkan Tiara sibuk bermain kucing barunya. Selang beberapa menit, Raka menghentikan mobilnya di depan kafe yang Dava maksud.

"Asik, makan gratis!" Tiara pun langsung membuka pintu mobil dengan semangat.

"Kucingnya kenapa dibawa?" tanya Raka.

"Ya masa ditinggal, Pak?"

"Terserah."

Begitu masuk ke dalam kafe, mereka menempati meja dekat dengan jendela. Raka menggeser menu kepada Tiara agar gadis itu memilih apa yang ingin dipesan.

"Boleh pesen apa aja, Pak?" tanyanya. Raka mengangguk singkat.

"Mau dessert box yang choko milky satu sama sari roti yang gambar Boboiboy Halilintar," ujar Tiara setelah selesai memilih menunya.

Raka mengerutkan keningnya, bingung. "Kenapa harus gambar Boboiboy halilintar?" tanya Raka.

"Takutnya Bapak salah ngambil, malah ngambil yang gambar Yaya."

"Apa yang beda?"

"Kan Bapak tau kalo kue buatan Yaya tuh berbahaya, bisa bikin pingsan. Makanya aku pilih yang Boboiboy halilintar," ujar Tiara.

Raka hanya menggelengkan kepalanya pelan lalu mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan.

"Pesan apa Kak?"

"Ice cappucino sama dessert box choko milky," ujar Raka sembari dicatat oleh pelayan tersebut.

"Mbak, ada sari roti yang gambar Boboiboy nggak?" tanya Tiara.

Pelayan tersebut tersenyum kecil. "Kebetulan tidak ada, Dek."

"Itu saja pesanannya?" tanya sang pelayan pada Raka.

Raka mengangguk singkat lalu mengalihkan pandangannya pada ponsel yang baru saja ia keluarkan dari saku celana. Pelayan tersebut pun kembali ke meja pesanan untuk menyiapkan pesanan Raka.

"Kok aku dipanggil 'Dek' sih? Muka aku nggak sebocil itu kali," gerutunya lirih.

Raka yang masih bisa mendengar gerutuan Tiara hanya tersenyum tipis. Tiara yang tak sengaja melihat senyuman kecil Raka pun langsung menatap lekat peristiwa langka tersebut.

"Bapak lagi chattingan sama siapa sampe senyum-senyum begitu?" tanya Tiara penuh selidik.

Raka sontak mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar ketika ia baru saja tertangkap basah tengah tersenyum.
"Urusan orang dewasa."

"Aku juga udah gede. Bentar lagi aku nikah," ujar Tiara dengan bangganya.

"Kamu setuju?" tanya Raka.

"Setuju apa?"

"Perjodohan ini," sahut Raka.

Tiara menganggukkan kepalanya cepat. "Setuju sekali. Kalo Pak Raka?"

Raka tak langsung menjawab membuat Tiara menatap heran ke arahnya.
"Pak, kok diem? Bapak nggak setuju ya?" tanya Tiara.

"Kenapa kamu setuju?"

"Saya belum pernah banggain orang tua sebelumnya. Mungkin dengan saya nurutin permintaan Bapak itu bisa buat beliau senang. Lagipula 'kan saya suka sama Bapak, yaudah paket plus-plus," sahut Tiara panjang lebar tak lupa juga sembari mengelus tubuh kucing yang ada di pangkuannya.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya, Pak?"

"Kenapa suka saya?"

"Ya ... Bapak ganteng, wangi, tinggi, keliatannya si kaya, cukuplah buat dijadiin suami sama buat memperbaiki keturunan," ujar Tiara.

"Tapi saya nggak suka kamu."

"Saya tau kok, hahaha. Makanya saya minta waktu buat bikin Pak Raka suka sama saya."

Raka tertegun sejenak mendengar ucapan Tiara. "Kenapa?"

"Kata Bapak, kalo semisal Pak Raka terima perjodohan ini ... kita bakal tunangan akhir bulan ini. Selama menjalin hubungan itu, saya akan berusaha buat dapetin hati Bapak."

"Kalo kamu gagal?" tanya Raka.

"Bapak bisa batalkan pertunangan kita, selesai deh."

"Pesanannya Kak, Dek. Selamat menikmati," ucap pramusaji yang baru saja tiba membawakan pesanan mereka.

Setelah pramusaji itu pergi, Raka hendak membuka suara. "Say—"

"Makan dulu deh, Pak. Saya laper nih," ujar Tiara memotong ucapan Raka.

Raka Untuk TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang