[24] Sepihak

1.7K 227 102
                                    



Anetta menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Gadis dengan potongan rambut pixie cut yang di cat warna lilac itu tampak sangat menikmati aroma nikotin.

"Bisa gak, lo matiin rokoknya dulu?" tanya Miura yang sejak tadi menahan bau asap rokok yang sangat kentara. Sebenarnya sebagai perokok berat, tubuh Anetta juga sudah terkontaminasi bau rokok.

"Hmm, udah." Anetta menekan puntung rokoknya ke dasar asbak. Memutarnya hingga bara apinya mati. Asap putih menguar di atas asbak keramik tersebut. Kemudian pudar, membaur dengan udara.

Miura menghela. "Ta, gue harus nikah kan?"

"Harus gitu?" Alis Anetta naik sebelah.

Miura mengangguk. "Harus."

"Calonnya?" tanya Anetta.

"Tetangga. Gue gak begitu kenal. Tapi gue gak mau kalau harus nyari cowok lain lagi."

Anetta tak percaya dengan pendengarannya. "Si tetangga itu mau?"

"Tadinya mau. Tapi gara-gara adek gue, jadi kacau. Gue gak paham kenapa dia mau dijodohin dari awal kalau sebenarnya dia suka sama adek gue udah lama."

Miura mempertajam ingatannya, mencoba menebak sejak kapan Gilang naksir adiknya. Sejak dulu? Masa? Kok bisa? Bagaimana?

"Gue pikir, ada alasan kan kenapa dia begitu. Terlepas dia ada apa-apa sama adek gue, yang jelas dari awal dia setuju sama perjodohan, artinya dia gak serius dong sama perasaannya ke adek gue?! Kenapa sekarang malah ragu??"

Anetta menatapnya dalam diam. Tidak berniat menginterupsi. Seringkali, Miura Arvitha Gani mengutarakan isi pikirannya secara lisan bukan untuk diladeni, tapi lebih untuk menjernihkan pikirannya sendiri. Ibarat belajar, ketika mencatat apa yang dijelaskan, akan lebih terekam kuat di otak dibanding hanya mendengarkan. Esensinya sama. Sama-sama mendengarkan. Menyimak. Tapi mencatat lebih efektif. Jauh lebih efektif untuk proses pemahaman. Demikian pula kali ini, Miura berbicara untuk dirinya sendiri.

"Padahal gue cuma nawarin kawin kontrak, karena gue cuma perlu status. Itupun cuma enam bulan. Atau bisa aja lebih cepet, tiga bulan. Abis itu sama-sama menandatangani surat cerai. Beres. Iya kan? Masa gitu aja gak bisa?

"Gue gak peduli bakalan dihakimi atau gimana. Setidaknya, setelah status menikah gue dapatkan, gue bebas dengan hidup gue sendiri. Setelah menikah, gue mau kemanapun adalah kebebasan gue. Dan orang tua gue gak seharusnya mengatur lagi."

Anetta berhenti menatapnya. Pembahasan menikah terdengar memuakkan di telinganya. Entah kesurupan apa, Miura malah terus-menerus menegaskan ide yang jelas-jelas buruk. Menikah. Keluar dari kartu keluarga. Kemudian bercerai. Lalu pergi. Hah! Memikirkannya saja membuat Anetta pening dan ingin mabuk saja.

"Lo diem begini, kecewa apa gimana?" desak Miura.

"Gue cuma ngerasa cara lo nyusahin orang," jawab Anetta. Dingin. "Ya setidaknya lo pikirin juga, cowok yang lo mau nikahin keberatan pasti. Jadi duda bukan hal yang asyik, you know."

"Dia bukan cowok baik. Brengsek, tau. Dia rugi apa nikahin gue??? Selama jadi istri dia, bisa aja dia dapet keuntungan kan???"

Anetta tertawa sinis. "Lo mau bikin cemburu?"

Tatapan Miura menajam. "Gue mau menegaskan untung rugi!"

"Ya tetep dia rugi!" tandas Anetta. "Lo udah gak perawan, dan dia gak bisa nikah sama orang yang dia suka. Dalam hal ini adek lo. Itu juga kalau bener ya berdasarkan cerita lo. Kalaupun enggak, ya tetap dia rugi. Rumah sebelahan sama mantan mertua dan para ipar. Sumpah, lo itu kejam."

Miura menghela napas. Ucapan Anetta itu fakta semua. Tak bisa disanggah. Sialan. Habis Miura sudah tidak tahu harus bagaimana lagi dengan dirinya, jiwanya, hidupnya. Mau sampai kapan terus-terusan membohongi diri?

My Not So Perfect CrushWhere stories live. Discover now