[20] Jendela Yang Tertutup (Gilang's POV)

1.7K 239 113
                                    



Ah benar, kalaupun kalian baca cerita ini gratis, tapi gak mungkin baca secara cuma-cuma 'kan? Kalian harus ada kuota internet dan waktu dan cinta buat aku, –Megan, maksudku buat Megan. Yaudah. Impas. Aku bikin cerita ini pakai hati, kalian bacanya juga dengan hati (mata juga)

Jadi, win-win solution, jangan lupa vote dan komen ya!
Share cerita ini juga, sebarkan ke seluruh netizen yang kalian tau 😉

Jadi, win-win solution, jangan lupa vote dan komen ya!Share cerita ini juga, sebarkan ke seluruh netizen yang kalian tau 😉

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🥋🥋🥋







Gue panik.

Sangat panik. Karena semakin hari, di mata gue Megan semakin menarik. Dan gue semakin ingin yang enggak-enggak sama dia. Padahal kalau diperhatiin baik-baik, Megan tu mirip anak kecil. Secara dia udah punya e-ktp. Dan bisa ikutan pemilu. Pemilu hal yang serius, lebih serius daripada perkara pacaran. Artinya, Megan udah bukan bocil. Tapi ekspresinya itu lho, kayak bayi kucing yang matanya belom bisa melek, gak berdosa, bikin gue mikir dia bukan cewek yang bisa gue taksir. Gue ngerasa dia lebih pantas jadi adik gue. Jangan berani-berani lo khilaf, Gilang!

Hari ini Megan lagi-lagi rebahan di atas karpet kamar gue. Dia pakai piyama. PIYAMA. Celananya panjang. Lengan pendek. Tapi di mata gue, dia gemesin. Gue gak tau dia udah mandi atau belum, soalnya rambutnya, mukanya, gak ada bedanya. Mandi gak mandi, dia terlihat sama. Dalam artian oke. Di mata gue, Megan cukup oke untuk cewek yang jarang mandi. Sebelum pikiran bangsat gue melayang kemana-mana, gue usir Megan dari kamar. Gue tegaskan kalau gue cowok, dan dia cewek. Bukan anak kecil cewek, tapi udah jadi CEWEK. Walaupun dia jarang mandi, berantakan, kurus dan warna bajunya selalu gelap, tapi dia cewek betulan. Kayaknya dia gak kepikiran soal itu.

Nyentuh kulit Megan rasanya bikin jantung gue gak karuan. Jadi lebih baik gue jaga jarak mulai sekarang. Shania boleh gue rusak, karena dasarnya Shania udah rusak, tapi Megan enggak. Kalau gue sampai khilaf, leher gue bakalan digorok sama Pak Gani, bokapnya Megan. Yang kebetulan sohib sama Pak Gastara, bokap gue. Bisa jadi, setelah leher gue digorok Pak Gani, maka proses pengulitan dilanjutkan sama Pak Gastara.

Masalah gue bertambah, karena Shania maksa mau main ke rumah, ke kamar juga. Katanya ada tugas kuliah yang dia gak paham. Gue yakin itu cuma alasan. Karena Shania cukup pintar dan bisa menyelesaikan tugas kuliahnya sendiri. Dia senyum manis dan bilang kalau dia cuma mau ngerjain tugas sambil ditemenin gue, bisa dibilang, dia minta bantu secara batin. Shania juga sengaja suka mancing, kalau sama gue, pakaiannya ketat. Nempel manja ke badan gue. Sebagai laki-laki normal, tiap Shania nganu, gue sambut dengan antusias.

"Kak, jendela kamar Kakak tutup ya?" pinta Shania waktu itu.

"Kenapa?" tanya gue.

My Not So Perfect CrushWhere stories live. Discover now