[38] Adieu (Bukan Simulasi)

1.3K 187 67
                                    



Apa kalian punya hari tergelap dalam hidup?

Punya? Tidak?
Oh tidak mau mengaku.
Baiklah. Tak ingin membahasnya ya.

Yang kuat membahasnya, coba akui,
Segelap apa hari itu rasanya?
Biar ku tebak? Baiklah.

Dalam gelap, hitamnya teramat pekat,
Bagai hilang fungsi semua indera.
Buta. Tuli. Hilang arah,
Sunyi. Membisu. Terpaku. Tak bisa apa-apa.





- My Not So Perfect Crush by Eiulalalie -
Cuma di dunia oren alias wattpad
we-awa-tet-pa-apa-de, wetped!






Sejauh dari apa yang Megan bisa ingat, dulu bertahun-tahun lalu, sepertinya pernah ada percakapan suram seperti, Apa yang kita lakukan kalau rumah kita kebakaran, terjadi gempa bumi, longsor, rubuh atau ambruk?

Megan ingat betul waktu itu Papa yang melontarkan pertanyaan, di suatu hari Minggu, mereka semua duduk mengelilingi meja kayu -yang seperti kayu jati, yang kini tersimpan di pojok garasi. Meja kayu yang sama dengan yang pernah Megan amati lamat-lamat ketika Gilang dan orang tuanya makan malam bareng setelah empat tahun lebih Megan meninggalkan rumah.

Di meja itu, si bungsu Mario dengan polosnya langsung menyahut pertanyaan Papa, "Pokoknya Mario digendong ya Pah, kan masih kecil."

Milo mengernyitkan kening dan balik bertanya, "Kebakaran, longsor, rumah ambruk, gempa bumi, terjadi bersamaan atau salah satu aja, Pah?"

Kelewat pintar Milo itu. Bikin Papa tersenyum. "Salah satu, tapi gak menutup kemungkinan bisa barengan. Biasanya bencana tsunami berbarengan dengan gempa kan? Atau angin puting beliung, disusul hujan dan petir."

"Wah, yang mana pun tetep aja rumah gak selamat," cetus Milo. Kemudian menoleh pada Megan, "Yang penting semua udah keluar rumah. Mi Kuah kalau lagi tidur kek kebo, jangan sampe susah dibangunin dan bikin telat menyelamatkan diri."

Megan mendengus. "Bisa jadi malah lo yang bikin susah."

"Contohnya?" sambar Milo dengan satu alis terangkat.

Karena Milo jarang membuat masalah di rumah, Megan tak kunjung berhasil menemukan contohnya. Senyum puas Milo terkembang sempurna.

"Selama ada asuransi, beres kan Pah?"

Pertanyaan satu itu keluar dari bibir Miura. Anak manis dan kalem yang punya pemikiran logis, alih-alih takut dengan membayangkan situasi bencana, Miura justru berpikir kondisi pasca-bencana. Bahkan pertanyaannya ia suarakan dengan nada tegas dan begitu yakin. Saking yakinnya, dengan optimis Miura men-skip perkara nyawa mereka sudah selamat semua atau belum.

Papa tidak perlu lama berpikir. "Gak ada," katanya, "dan kalau pun ada yang diasuransikan, gak semudah itu pencairannya. Bisa jadi gak cair. Kalau pun cair, hanya sekian persen, dengan proses sangat lama, berlarut-larut dan gak akan menutupi setengah dari kerugian."

Barulah ekspresi tenang Miura terusik. Bocah dengan pemikiran realistis, logis dan praktis itu mulai menunjukkan tampang panik. Berbeda dengan Miura, Mozza si sulung yang berwatak keras, tegas dan galak justru menampilkan ekspresi cemas dan ngeri.

"Papa ngapain sih ngasi pertanyaan kayak gitu," tukasnya.

"Kan simulasi, Nak. Papa mau tau apa yang kalian pikir dan akan lakukan kalau terjadi hal-hal bahaya diluar prediksi."

My Not So Perfect CrushWhere stories live. Discover now