10

6.2K 829 20
                                    

Setelah berbicara dari hati ke hati dengan pemasok, diskusi panjang, Kalea dan Bintang kembali ke kota. Untuk hasilnya, pemasok akan mempertimbangkan kembali. Bintang cukup puas dengan hari ini meskipun belum mendapatkan jawaban pasti. Setidaknya dia sudah mencoba mengambil hati dan kepercayaan pemasok.

Bintang memperhatikan Kalea yang duduk di kursi depan. Entah kapan dia bisa mengambil hati dan kepercayaan Kalea lagi. Haruskah dia menggunakan trik yang sama dalam mengambil hati dan kepercayaan pemasok? Bintang tersenyum miris, mencoba memulai pun rasanya sudah pesimis.

"Kamu mau makan dulu atau langsung pulang?" tanya Bintang pada Kalea.

"Langsung pulang saja, Pak," jawab Kalea tanpa menoleh ke belakang.

"Pak Burhan, nanti bapak turun di kantor saja. Saya yang mengantar Kalea."

"Baik, Pak."

"Kalau begitu saya turun di kantor juga saja, Pak."

"Saya antar, ini sudah malam."

"Saya bawa mobil."

"Tinggal saja. Besok saya jemput."

"Tap..."

"Ini sudah terlalu malam," potong Bintang tak mau dibantah.

"Benar, Mba Kalea. Ini sudah malam dan seharian di jalan pasti melelahkan," ucap Pak Burhan sembari melirik kaca spion dan tersenyum tipis pada Bintang.

Seharian bekerja di luar memang menguras tenaganya. Ini pertama kalinya Kalea bekerja di luar gedung selama seharian. Kalea pun akhirnya setuju. Dia ingin sekali bertemu kasur merebahkan badannya yang kaku. Ternyata begini rasanya jadi pekerja lapangan, tak seindah bayangannya yang bisa bebas memandang dunia. Dulu dia suka iri pada temannya yang sering bekerja di luar sementara dirinya terus di dalam ruangan dan hanya melihat tembok serta laptop-laptop di atas meja.

Kalea sudah kehabisan tenaga, dia diam memandang lampu malam di pinggir jalan. Meski sekarang ada Bintang yang sudah menggantikan Pak Burhan, dia tak mengubah posisinya. Dia justru semakin menyenderkan bahunya, lelah.

"Akhirnya selesai. Lega rasanya kita tinggal berdua dan jam kerja selesai. Jadi kita bisa bicara santai. Makan dulu ya?" tawar Bintang.

"Kalea," panggil Bintang karena tak ada respon dari lawan bicaranya.

"Ya?" Kalea yang kaget langsung menegakkan badan dan menoleh pada Bintang.

"Makan dulu ya?"

"Nggak usah, Pak. Saya langsung pulang saja."

"Aku nggak mau dicap bos kejam yang bikin karyawannya pingsan."

Karena kehabisan energi, Kalea tak membantah. Kembali menyenderkan kepalanya ke kursi. Rintik hujan yang tiba-tiba datang membuat syahdu suasana ditambah lagu yang diputar menambah kegalauan hati.

Kalea melirik Bintang yang mengeraskan volume musik yang memutar suara Budi Doremi menyanyikan lagu Mesin Waktu.

"Aku suka lagu ini," ucap Bintang tapi kembali tak direspon Kalea.

Kalea membuang muka, matanya berkaca-kaca seketika. Lagu yang diputar terlalu menyayat hatinya yang tengah lemah. Dia beruntung di dalam mobil cukup gelap sehingga dia bisa menyembunyikan wajahnya.

"Kalau aku bisa mutar waktu, aku nggak akan jadi pengecut. Tapi waktu tak bisa kembali, aku hanya bisa berharap bisa memperbaiki," ucap Bintang tapi Kalea tetap bungkam.

Kalea sangat bersyukur Bintang tak lagi membahas perasaan atau masa lalu lagi setelah dia memilih diam. Saat ini bukan waktu yang tepat, Kalea terlalu lelah.

Kalea dalam Dekapan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang