2

11.3K 1.3K 32
                                    

Berat kaki melangkah memasuki gedung kantor. Kalea berdiri cukup lama di depan lift meski pintu sudah terbuka dan menutup berulang kali. Sebenarnya hari ini dia tak ingin masuk kerja tapi dia ingat bahwa semalam dia resmi mengakhiri semuanya.

Akhirnya Kalea masuk ke dalam lift dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Berkali-kali dia menelan salivanya dengan kepala menunduk. Berharap kejadian kemarin hanyalah mimpi.

"Kalea."

"Ya?" Refleks Kalea mengangkat kepala mendengar namanya dipanggil.

Matanya melebar, melihat ke sekeliling, kosong hanya ada dia dan Bintang. Bagaimana bisa ini terjadi? Kalea melangkah mundur hingga menabrak dinding. Matanya mulai memanas, dia langsung memalingkan wajah dan mengambil napas dalam-dalam mencegah air matanya tumpah.

"Kalea," panggil Bintang lagi.

Kalea masih pada posisinya tak bergeming sedikit pun. Waktu seakan berputar sangat lambat. Saat dentingan pintu terbuka, segera Kalea keluar melewati Bintang. Tak mempedulikan pendapat Bintang yang mungkin menertawakan dirinya yang belum move on.

Sudah mengikrarkan selesai bukan berarti semudah membalikkan telapak tangan. Kalea akui dia kalah, belum mampu bersikap biasa saja hanya bisa menghindar dan menghindar. Tak mungkin dia memperlihatkan matanya yang memerah pada pria yang meninggalkannya. Dia masih memiliki harga diri.

"Lea."

"Ya?"

"Akhirnya lo dateng. Ikut gue ambil sample di pabrik."

"Sekarang?"

Jena menarik pergelangan tangan Kalea yang belum sempat masuk ke ruangan. Untuk pertama kalinya Kalea merasa bersyukur dan bahagia ada yang mengajaknya ke pabrik sepagi ini.

"Kalea!"

Kalea menutup matanya. Kenapa sepagi ini sudah banyak yang memanggilnya?

"Ada apa?" tanya Kalea dengan senyum yang dipaksakan.

"Biar Jena pergi sama gue. Lo dicari Bu Rima," jawab Rigel, teman satu divisi yang naksir Kalea secara terang-terangan. Tipe pria easy going yang tampan dengan tubuh tinggi.

"Bu Rima udah di ruangan?"

"Ada meeting dadakan jadi dia udah di kantor dan bau-baunya lo yang disuruh presentasi," jawab Rigel.

"Untung gue ke pabrik," saut Jena yang sangat hapal tabiat manajernya. Kalau ada yang serba mendadak pasti anak buahnya yang disuruh maju duluan. "Harusnya yang jadi manajer itu lo karena Bu Rima itu modal copas otak lo," bisik Jena sebelum meninggalkan Kalea yang kehilangan semangat.

Ikut rapat berarti kembali berhadapan dengan Bintang. Kalea ragu dengan dirinya, merasa tak mampu untuk bersikap santai seolah tak pernah terjadi apapun. Hidup ini kejam, tak semanis harapan.

"Kalea."

Kalea terlonjak, suara Bintang mengagetkannya. Dia mengambil napas panjang sebelum menoleh, menghadapi bom waktunya.

"Ya, Pak?"

"Bisa kita bicara?"

"Maaf saya dipanggil Bu Rima."

"Istirahat siang?"

"Saya udah ada janji."

"Pulang kerja?"

"Maaf...."

"Menghindariku?" potong Bintang.

Kalea mengeraskan rahangnya, menyamarkan bibirnya yang bergetar. Tak mungkin juga terus menghindar Kalea pun mengangguk meski dia belum pastikan hatinya baik-baik saja.

Kalea dalam Dekapan BintangWhere stories live. Discover now