"Seperti biasa," jawab Gibran bermuka datar—tanpa ekspresi.

"Yakin nggak mau ada peningkatan? Kalau mau, gue nih sebagai teman sekaligus sahabat yang baik hati pasti bakalan bantu lo."

"Masih banyak hal penting lainnya bagi saya."

"Jabatan ketua OSIS lo kan mau lengser, masalah kafe juga udah diurus sama Tante Elsa, dan Tante Elsa juga kayaknya tadi udah akur sama Bella. Jadi, lo mau ngurusin apa lagi, hah?"

"Masalah Reza."

Deni menepuk dahinya sendiri, tak habis pikir dengan sahabatnya yang satu ini. Gemar sekali mengurus urusan kehidupan orang. Ya, walau pun yang dilakukan Gibran saat ini tidak salah, tetapi tetap saja hal itu membuatnya kesal.

"Nih, gue kasih tahu sama lo. Buat apa lo permasalahkan urusan Reza? Toh juga sekarang dia udah bebas kan?"

"Bukan masalah itu, melainkan pelaku yang sebenarnya belum terungkap dan saya harus mencari tahunya."

"Buat apa lagi sih, Gib? Emang dia bakalan di penjara? Nggak mungkin kan. Kedua pihak keluarga korban aja udah ikhlas. Ini lo malah mau cari tahu pelakunya lagi."

"Bisa saja pelaku yang sebenarnya mengulangi kejadian yang sama."

"Lo juga ada benernya, sih."

Di saat Gibran tengah berbincang bersama Deni. Lain halnya dengan Arinta yang duduk termenung di depan rumahnya. Air matanya menetes begitu saja, kala mengetahui kebenaran yang sangat menyakitkan.

Dimana ternyata, almarhum Ayahnya tertabrak oleh seseorang yang sangat ia kenalis sekarang. Orang yang seringkali membantunya dan memberinya pekerjaan.

Arinta sedih, mengetahui kebenaran jika mamanya Gibran yang telah menabrak Ayahnya hingga meninggal dan kabur begitu saja usai tabrakan. Hatinya hancur, mengapa ibunya baru menceritakannya tadi ketika ia pulang dari sekolah.

Selain itu, Arinta pun bingung dengan apa yang harus ia lakukan setelah mengetahui kebenaran itu. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menemui Gibran.

Lewat pesan singkat yang Arinta ketik, ia lantas mengirimkannya dan bersiap untuk segera bertemu dengan anak yang sudah menyebabkan Ayahnya tiada.

-----

Begitu Gibran mendapatkan pesan dari Arinta, entah kenapa hatinya merasa senang kala Arinta ingin menemuinya.

"Jadi, lo sekarang mau ketemuan nih sama Arinta?" tanya Deni yang masih berada di rumah Gibran.

"Iya."

"Oke, mantap! Gue tunggu kabar baiknya. Sekarang gue cabut dulu."

"Iya."

"Iya mulu lo! Oh, gue tahu lo pasti lagi seneng kan sekarang?"

"Iy—"

"Tuh, kan! Gue bakalan ada di barisan terdepan yang minta PJ sama lo."

"Apa hubungannya dengan penanggung jawab?"

Ingin rasanya Deni tertawa mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Gibran. "Pajak jadian woi! Napa penanggung jawab. Udahlah capek gue ngomong sama lo, mending gue beneran cabut aja."

Sementara Gibran hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat kelakuan sahabatnya itu. Tak lama setelahnya, ponselnya kembali berdering dan ternyata Arinta mengirimkan lokasi tempat untuk bertemu. Gibran lantas menyambar kunci motornya dan pergi begitu saja. Sampai-sampai ia tidak sempat berpamitan dengan mamanya.

Tak membutuhkan waktu yang lama, hanya sekitar lima belas menit Gibran sudah sampai di tempat tujuan. Ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Arinta. Namun, sepertinya dia belum juga datang.

Saat Gibran berbalik badan, ia melihat Arinta yang tengah turun dari angkutan dan kini berjalan ke arahnya.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Gibran. Ia terkejut kala tiba-tiba saja Arinta menamparnya.

"Kenapa Anda menampar saya?" tanya Gibran.

"Kak Gibran pasti selama ini baik sama keluarga gue, pasti ada alasannya?"

"Alasan? Maksud Anda?"

"Nggak usah pura-pura nggak tahu, Kak! Kak Gibran tahu kan rasanya kehilangan sosok ayah? Kita sama, Kak!"

Kini, Gibran semakin dibuat bingung oleh Arinta. Mengapa dia bisa terlihat sangat marah kepadanya. Namun, amarah itu seketika berubah kala Arinta meneteskan air mata.

"Jangan menangis, saya tidak suka melihat Anda yang meneteskan air mata berharga itu." Ketika Gibran menyentuh pipi Arinta, dengan paksa Arinta melepaskannya.

"Mentang-mentang Kak Gibran kaya dan punya segalanya, keluarga Kak Gibran bisa bersikap seenaknya sama keluarga gue, Kak! Gue tahu gue nggak punya apa-apa, tapi ini nggak adil, Kak!"

"Maksud Anda berbicara seperti itu apa? Memangnya apa salah saya?"

"Bukan Kak Gibran yang salah, tapi Mamanya Kak Gibran yang udah tabrak dan ninggalin ayah gue tergeletak di pinggir jalan! Sampai-sampai ...." Arinta tidak kuat melanjutkan perkataannya. Tubuhnya merosot dan air hujan tiba-tiba saja mengguyurnya. Padahal sebelumnya cuaca sangat cerah dan panas.

.
.

Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih.

Sampai ketemu di BAB 46.

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now