Not A Wrong Bride || 02. After Marriage

21.4K 1.3K 23
                                    

After marriage...

Rumah yang memiliki banyak kenangan ini rasanya sangat sulit ia tinggalkan. Dia tumbuh disini, kenangan bersama orangtuanya pun disini. Akankah dia menjual rumah ini suatu hari nanti? Entahlah, dia merasa bingung. Ingin terus berada disini namun tak bisa. Karena mau sekuat apapun ia menolak, Reza memiliki seribu satu cara agar dia bisa menurut.

"Semuanya sudah berada di mobil, Nona."

Kepalanya mengangguk. Setidaknya, biasanya dia akan tersenyum menanggapi ucapan pelayan ataupun supirnya. Sekarang, bibirnya terlalu kaku untuk ditarik. Hanya wajah datar yang ia tampilkan. Disaat dia akan memulai hidup barunya -yang mungkin bisa disebut neraka- mana mungkin dia bisa tersenyum. Segala ekspetasi tentang Reza terus berkeliaran di kepalanya. Membuat dia tidak semangat sama sekali.

"Berhenti memasang wajah tertekan, ibu saya ada di apartemen sekarang."

Ia paham betul maksud Reza. Harus menampilkan wajah bahagia seolah tidak keberatan harus mengikuti suaminya padahal dia sendiri memiliki rumah. Matanya menatap sosok Reza yang berjalan beberapa langkah di depannya. Bahu tegap terbungkus jas rapi, terlihat begitu menawan. Berbanding terbalik dengan sikapnya. Bahkan sekarang memakai kalimat formal pada Elena seolah mereka adalah rekan kerja. Mungkin motif Reza melakukan hal tersebut agar Elena tahu batasan.

Berbasa-basi dengan dua ibu-ibu cukup melelahkan. Mereka memang saling mengenal, tapi keadaan sekarang malah membuatnya merasa canggung sekaligus muak. Malas berhadapan dengan orang-orang yang mengingatkannya pada Galih. Bodohnya dia malah tetap berurusan dengan keluarga ini. Tunggu saja, suatu saat dia pasti akan membalaskan dendamnya.

"Suami kamu tuh, kalau nggak diperhatiin makannya suka nggak teratur. Jadi nanti kamu yang gantiin tugas kita ya? Bahan makanan sudah kami siapkan, kalau kamu nggak betah disini, bilang aja biar kalian pindah ke rumah." ceramah panjang dari Farah ia dengarkan baik-baik. Farah memiliki sifat keibuan yang membuat banyak orang nyaman. Sayangnya, beliau hanya diam saja saat Galih memutuskan menikahi Revika dan meninggalkan Elena. Yang membuat respek Elena berkurang.

"Bener! Harusnya kalian tuh tinggal dirumah, jangan di apartemen kecil kayak gini." Alina menambahi. Tempat yang dikatakan apartemen kecil adalah penthouse mewah di Ibukota ini. Termasuk aset milik Wiratama juga. Elena jadi penasaran seberapa banyak aset Wiratama, apa saja yang dilakukan oleh Galih dan Reza hingga membawa kemajuan pesat pada perusahaan mereka.

"Sudah malam, lebih baik Mamah sama Bunda pulang," usiran halus dari Reza dibalas kekehan kedua ibunya. Keduanya pun menurut setelah melempar berbagai godaan pada pengantin baru tersebut.

Elena menatap malas adegan tersebut. Setelah mertuanya menghilang dibalik pintu, Elena segera menghempaskan tubuhnya di sofa. Mengeluarkan ponselnya untuk membunuh rasa bosan. Alih-alih merasa terhibur, malah merasa kesal ketika mendapat banyak ucapan selamat dari orang-orang.

"Masak makan malam!"

Kepala Elena terangkat, menatap bingung sosok suaminya. Telinganya tidak salah dengar bukan? Atau Reza yang tengah berbicara pada orang lain? Tapi hanya ada mereka berdua disini.

"Aku?" Elena menunjuk dirinya sendiri. "Nggak mau! DO aja kan gampang!" lanjutnya setelah mendapat anggukan dari Reza. Yang benar saja, ia sendiri lupa kapan terakhir memasak. Galih saja hanya pernah ia masakan dua kali saja. Itupun hanya nasi goreng dan mie instan.

"Lalu apa gunanya kamu sebagai istri?" Wajah angkuh Reza benar-benar membuat Elena muak. Rasanya ia ingin mendekat lalu mencakar wajah suaminya sendiri.

"Berniat membuatku seperti pembantu eh?" Elena menatap tajam Reza, apa pria itu berpikir jika dia akan kalah begitu saja? "Jangan mimpi, kamu nggak bisa mengekang hidupku apalagi memerintah seenak jidat!"

Kekehan Reza menaikan emosi Elena. Wajah angkuh tak luntur sama sekali, pria yang masih memakai kemeja putih tersebut duduk di sofa single. Cara duduknya pun dibuat seberwibawa mungkin, atau memang aslinya begitu. Yang jelas Elena benar-benar muak.

"Jelas saya bisa. Kamu istri saya, dan kamu harus menuruti semua ucapan saya. Memastikan kamu jauh dari keluarga saya itu penting, sedangkan memanfaatkan kamu itu bonusnya. Setidaknya bergunalah selama menjadi istri saya."

Bukan kalimat singkat, malah penjelasan panjang yang mendidihkan emosi Elena. Tidak ingin lebih lama bersama titisan iblis ini, Elena beranjak dari sana.

"Hey Lena, perusahaan mendiang orangtuamu sudah berada di tangan saya, apakah kamu tidak mau membantu mengurusnya?"

Bukan, ini bukan tawaran. Langkah Elena terhenti, ia menoleh dan menatap tajam Reza. Sungguh jika ini dunia fantasi, pasti Reza sudah mati karena hunusan tajamnya tatapan mata Elena. Mana mungkin perusahaan mendiang orangtuanya berada di tangan titisan iblis itu?

"Cepatlah menikah agar perusahaan Papah biar suamimu yang mengurus kelak."

"Kamu tidak perlu khawatir, suamimu yang memiliki kewajiban untuk mengurus perusahaan ayah kelak. Jadi kamu tetap bisa mengurus karirmu."

Ayahnya benar-benar melakukan hal tersebut? Tapi... Tidak mungkin kan semua aset Elena langsung beralih ke Reza? Pasti pria itu berbohong, dia harus mencari tahu secepat mungkin.

"Perusahaan ayahmu akan berbalik nama jika kamu bisa mengurusnya dengan benar selama satu tahun." Reza menjeda ucapannya. Pria itu berlagak seolah bisa membaca pikiran lawan bicaranya. "Berhubung saya tengah bahagia karena melihat adik saya bahagia, jadi saya berbaik hati untuk memberimu kesempatan. Urus perusahaan ayahmu dan semua itu bisa menjadi milikmu."

Dalam makna tersirat, Reza memberitahu jika kebahagiaan Revika adalah sumber kebahagiaan pria itu juga. Jika Revika bahagia maka suasana hati Reza akan baik dan sebaliknya. Cih! Dia heran seberapa istimewa Revika sampai memiliki pengaruh begitu besar pada orang-orang.

"Hanya selama satu tahun, dan selama itu pula keputusan perusahaan ayahmu masih ditangan saya. Jadi menurutlah agar semua tetap baik-baik saja."

Double shit! Belum lagi beberapa hari lalu ia mendengar kabar bahwa perusahaan Pamannya di Singapura sudah membaik berkat bantuan dari Reza. Pria itu memberi songkongan untuk Pamannya dan dia sangat tahu pria itu melakukannya dengan niat terselubung. Karena kapan saja Reza bisa menarik semua dananya dan perusahaan Pamannya kembali pailit. Intinya, hal itu adalah bentuk ancaman bagi Elena. Reza sangatlah licik.

"Entah kenapa aku jadi ingin membuat suasana hatimu buruk," usai mengucapkan kalimat tersebut, Elena berlalu dari sana. Memasak? Mungkin. Titisan iblis itu pasti akan memberikan ancaman jika dia tidak menurut.

"LENA!"

Dari dapur Elena hanya bergumam sebagai jawaban. Lebih memilih sibuk dengan bahan makanan ketimbang panggilan dari suaminya yang super membahana itu. Cih! Pada istrinya saja begitu apalagi pada orang lain, kecuali keluarganya tentunya. Elena jadi penasaran bagaimana sikap Reza pada bawahannya.

"LENAA!"

"APAAA?" balas Elena merasa kesal. Bahkan membanting pisau yang tengah di pegangnya ke talenan -menyalurkan rasa kesalnya.

"Siapkan barang-barang saya untuk honeymoon, kita berangkat besok."

Kepala Elena menoleh, melirik Reza yang sekarang tengah membuka kulkas lalu mengambil satu minuman kaleng. Melenggang dari sana tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Meninggalkan Elena yang merasa bingung. Honeymoon?

🍁🍁🍁🍁

To be continue

Halo semuanya! Selamat sore! Gimana kabar kalian? Baik kan?

Sesuai janji ya guys update hari Kamis. Kesel gak tuh disuruh nunggu seminggu wkwk. Mood aku juga kurang bagus jadinya ga nulis banyak, makanya gada bonus update selain hari Kamis. Mungkin kapan-kapan aku kasih.

Jangan lupa tinggalkan jejak! Gak boleh pelit vote sama komen loh ya! Jangan lupa kasih kritikan juga, thank you. Sampai jumpa Minggu depan!

Not A Wrong Bride (#4 Wiratama's)Where stories live. Discover now