53

9.5K 697 5
                                    

Feby melotot mendengar jawaban Tama yang ambigu. Ia malah semakin beringsut ke pinggir.

"Aduh!"

Tama menggelengkan kepala pelan saat melihat Feby terjatuh. Ia tak menolongnya, Feby naik ke atas ranjang sendiri.

"Udah dibilang 'kan? Bandel, sih."

Feby mengusap pinggangnya yang terasa sakit. Tama mendekatinya dan melakukan hal yang sama.

"Mana yang sakit?"

"Eh, enggak papa, Mas."

"Kamu kenapa takut banget sama aku? Emang aku gigit? Dulu 'kan waktu kecil kita selalu sekamar tidurnya."

"Mas, bisa nggak kamu jangan bahas kayak gitu. Aku nggak nyaman, Mas. Kamu selalu bahas waktu kita kecil begini begitu, kalau kamu gitu terus aku bakalan susah menerima keadaan kita yang sekarang."

"Oke, aku minta maaf."

"Bahas yang lain aja, ya."

"Oke."

"Mas, rumah kita yang lama mau diapakan, dijual?" Feby dan Tama berencana tinggal di perumahan dekat kantor setelah ini.

"Jangan, sayang kalau dijual. Rumah itu banyak nilai historisnya."

"Kalau gitu dikontrakkan aja, takutnya kalau dikosongkan malah rusak."

"Iya, gitu juga boleh."

"Besok aku iklanin di medsos deh, biar cepat laku."

"Gimana kalau uangnya buat biaya kamu kuliah?"

"Siapa yang mau kuliah?"

"Emang kamu nggak kepingin berkarir? Aku nggak akan batasin kamu kok, aku janji."

"Aku males kuliah, Mas."

"Jadi pingin di rumah aja, ngurus anak sama suami?" Goda Tama.

Wajah Feby memerah karena malu. Tanpa ia sadari dari tadi Tama bicara sambil memainkan rambutnya yang tergerai di bantal. Jarak mereka pun semakin lama semakin dekat. Tentu saja ini ulah Tama. Sejengkal demi sejengkal ia mendekat dengan pasti.

"Mas, soal yang anak itu ...."

"Iya, aku ngerti. Tenang aja, bisa diatur itu." Potong Tama.

Feby tersenyum lega, selama ini Tama selalu memegang komitmen, ia belum pernah ingkar janji.

Mereka berdua ngobrol sampai larut malam, mengobrol ke sana kemari. Tentang teman sekolah, tentang cuaca tentang gosip artis.

Hingga tak sadar Feby tertidur. Tama memandang wajah polosnya dari samping. Ia tak menyangka gadis yang sejak bayi diasuhnya itu kini menjadi istrinya.

Tama tak tau sejak kapan pastinya ia mulai jatuh cinta pada gadis ini. Apa sejak ia SMP atau saat ia menerima surat wasiat itu. Entahlah.

Saat itu ia merasa sangat brengsek karena telah mencintai gadis di bawah umur. Yah, perbedaan usianya dan Feby adalah delapan tahun. Ia tersenyum saat mengingat gadis itu meyebutnya tua bangka.

Mulanya ia ingin melupakan masalah perjodohan itu. Ia hanya ingin hidup dengan Feby sebagai kakak beradik saja selamanya.

Tapi ketika gadis itu pergi meninggalkannya, ada perasaan kosong dan kehilangan, yang tidak bisa digantikan dengan apapun.

Perasaannya bertambah resah saat ia mengetahui ada pria yang lain yang mendekati gadis itu. Ia sadar, mungkin suatu saat ada seseorang yang akan memiliki adiknya.

Saat mengetahui Feby juga takut kehilangan dirinya, ia memutuskan untuk egois. Ia senang karena perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Tanpa mereka berdua sadari, selama ini mereka tumbuh sebagai dua orang yang saling mencintai, hanya saja mereka belum menyadarinya.

Feby bergerak gelisah dalam tidurnya. Tama menyingkirkan anak rambut yang jatuh di dahinya.  Dipandanginya wajah polos yang tertidur pulas itu.

"Jadilah istri yang baik."

Feby merasakan Tama mencium keningnya, sedari tadi sebenarnya ia pura-pura tidur. Ada keharuan yang menyeruak di hatinya. Ia merasakan Tama memeluknya dari samping, ia tak berani membuka mata. Ia malah menyembunyikan wajahnya di dada pria itu, tangannya melingkar di pinggang Tama, membalas pelukannya.

Tama mengerutkan kening karena kaget, ia pikir Feby sudah tidur sejak tadi. Feby mengangkat kepalanya, pandangan mereka bertemu. Tama berkata perlahan.

"Kenapa belum tidur?"

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now