42

6.4K 599 9
                                    

"Kamu jauhin Leon juga, bisa?"

Feby segera melepas tangan Tama dan menjauhkan tubuhnya. Ia mengusap kasar air matanya dan merapikan rambutnya.

"Ta-tapi ini 'kan soal kamu sama mbak Andin, Mas. Kok jadi bahas aku, sih?"

"Kamu nggak suka lihat aku deket sama Andin 'kan?"

Feby mengangguk ragu, matanya tak lepas dari wajah Tama.

"Aku juga, aku nggak suka kamu deket sama Leon."

Feby tertegun mendengar penuturan Tama.  Ia segera memutus pandangannya dan mengarahkan ke arah lain.

"Tapi kenapa, Mas?"

"Nggak suka aja." Tama menjawab dengan sikap yang sangat menyebalkan, sebenarnya ia sedang membalas Feby.

"Harus jelas alasannya." Feby memutar bola matanya kesal.

"Kamu aja nggak ngasih tau alasan kamu nggak suka Andin." Tama semakin senang menggoda Feby.

"Mas!" Feby berteriak kesal, ia hendak berdiri meninggalkan Tama. Segera dicegah oleh Tama.

"Aku cemburu."

Feby tertegun mendengar penuturan Tama. Ce-cemburu? Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa? Feby tak berani menatap wajah Tama.

Tama memandang gusar ke arah wajah Feby yang berubah pucat. Ia takut menebak isi hati Feby.

"Feb? Kamu kenapa?"

"Aku mau masuk ke kamar, Mas."

"Kita belum selesai bicara."

"Aku nggak mau bahas ini, Mas. Aku harap kita lupain aja kejadian barusan." Feby berusaha melepaskan tangan Tama.

"Tapi kenapa?"

"Mas, aku mohon. Aku pingin istirahat."

Akhirnya Tama melepaskan tangan Feby, gadis itu segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya.

***

Feby memegangi dadanya yang tiba-tiba merasa sesak, di dalamnya seperti ada diskotik. (Ajep-ajep gitu hehe)

"Yang tadi itu apa?"

Feby mencoba mengatur nafasnya, tarik-hembuskan, tarik-hembuskan .... Seperti orang yang sedang pembukaan melahirkan.

"Nggak! Nggak ini nggak mungkin!"

Feby menjambak rambutnya kesal sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian ia tertawa dipaksa, bak orang gila baru. Kemudian ia menggelengkan kepalanya.

"Nggak boleh! Ini nggak boleh terjadi!"

"Cemburu? Makanan apa itu? Sejenis makanan yang difermentasi?" Feby terkekeh seorang diri.

"Itu namanya combro, adekku sayang!"

Feby kaget melihat kepala Tama menyembul dari Jendela kamarnya.

"Mas Tama! Ngapain kamu di situ?" Feby menghampiri Tama dengan khawatir. Abangnya ini sedang sakit masih pecicilan saja.

"Aku khawatir liat muka kamu yang pucet tadi." Tama tak mau beranjak dari posisinya, mereka berdua berbicara di jendela.

"Aku nggak papa, sekarang cepetan masuk. Masih sakit nggak usah pecicilan!"

Feby menutup gorden jendelanya. Kemudian ia menelungkupkan tubuhnya di ranjang. Malu karena ketahuan Tama telah berbicara seorang diri.

***

Sampai pukul dua siang Feby masih belum keluar dari kamarnya. Tama menunggunya di meja makan. Sebenarnya masih ada makanan sisa sarapan tadi, tapi ia ingin memancing Feby keluar kamar.

Dengan langkah tertatih, ia menghampiri kamar Feby dan mengetuk pintunya.

"Dek, kamu nggak masak? Ini udah jam makan siang lho. Aku laper."

"Kamu makan aja sayur sisa sarapan tadi, Mas. Kan masih banyak." Feby tak mau keluar, ia hanya menyahut dari dalam.

"Kamu nggak makan siang?"

"Masih kenyang, kamu sendiri aja, Mas."

Bohong! Sebenarnya perut Feby sudah lapar dari tadi. Untungnya di dalam kamarnya ia menyimpan sebungkus malkist. Lumayanlah untuk mengganjal lapar. Yang sedang terjadi sebenarnya adalah ia merasa malu bertemu Tama. Malu karena tadi dirinya sudah lebay menangisi laki-laki itu.

"Oke."

Dengan dongkol Tama kembali ke meja makan, ia makan seorang diri. Kalau tidak ingat harus minum obat, sebenarnya ia malas makan.

Setelah makan Tama menonton TV seorang diri, bosan sekali karena tak ada yang bisa dikerjakannya. Kantor memberinya cuti selama seminggu, sampai ia benar-benar pulih.

Ia kembali melirik ke arah kamar Feby, masih tertutup rapat. Ini sudah hampir pukul tiga sore, apa gadis itu tak merasa lapar? Pikir Tama.

Kemudian sebuah ide jahil terbersit di pikirannya, tak ada salahnya dicoba.

"Aduh! Aduh, tolong, Dek!"

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now