49

6.9K 599 1
                                    

Tama benar-benar menjemput Feby keesokan harinya. Ia datang sangat pagi, saat itu Feby baru saja bangun tidur.

"Kok kamu ke sini, sih, Mas? Udah aku bilang kita ketemuan di makam aja." Feby membuka pintu dengan bersungut-sungut, ia masih mengantuk.

Tama memandang geram ke arah Feby, ia segera masuk ke dalam kamar Feby tanpa dipersilahkan.

"Udah aku bilang, sebelum buka pintu periksa pakaian kamu dulu."

Feby memeriksa pakaiannya yang hanya terdiri dari tank top dan celana setengah paha. Ia memang suka memakai pakaian seperti itu jika sedang sendirian di rumah.

"Mana aku tau kalau kamu yang datang."

Feby masuk ke kamarnya dan memakai daster tanpa melepas tank topnya.

"Kalau Leon yang ke sini kamu juga pakai baju kayak gitu?"

"Ya nggaklah, dia jarang ke sini juga."

Feby tak menceritakan perihal ia dan Leon yang kemarin makan malam bersama.

"Sarapan dulu, aku bawain bubur ayam." Tama berjalan ke dapur dan mengambil dua buah sendok. Ia juga merebus air untuk membuat teh.

"LPG kamu habis, Dek."

"Iya, dari kemarin."

"Semalam kamu makan apa?"

"Aku makan di kafe."

"Sama Leon?" Tama memandang tajam ke arah Feby.

"I-itu, jadi gini ... Dia kemarin ngajak aku malam malam, aku pikir nggak ada salahnya ...."

"Jelas salah, aku kan udah bilang ke kamu supaya jauhin dia." Tama segera memotong ucapan Feby.

"Denger dulu, Mas. Kamu nih main potong aja. Justru aku mau jelasin ke dia, supaya jauhin aku." Feby menjelaskan dengan tergesa-gesa.

"Bener kayak gitu?" Tama menahan tangan Feby yang hendak mengambil gelas.

"Nggak percaya ya udah. Asal kamu tau ya, Mas. Aku paling nggak suka sama type kekasih yang cemburuan."

"Jadi sekarang aku kekasih kamu?"

"Minggir, aku mau ngambil gelas."

***

Feby berada di samping pusara ayahnya, sedang Tama duduk di seberangnya. Setelah mendoakan sang ayah mereka masih betah duduk di sana.

"Mas, kira-kira kenapa, ya? Ayah menjodohkan kita berdua?"

"Mana aku tau. Mungkin ayah berpikir nggak ada laki-laki yang lebih baik untuk mendampingi kamu selain aku. Kayaknya, sih, gitu."

"Halah, narsis kamu."

"Kamu dari dulu juga suka aku 'kan?"

"Ngarang!"

"Aku ngerasa kamu diam-diam buka pintu kamar aku waktu aku tidur, buat apaan coba?"

Tama tau? Feby dulu sering diam-diam pindah tidur ke kamar Tama jika malam. Biasanya saat ia kangen dengan sang ayah. Ia merasa kesepian jika tidur seorang diri. Ia ingin seseorang ada di sampingnya, maka dengan begitu ia bisa tidur dengan tenang.

"Orang aku mau minjem charger hape."

"Charger hape, ya?"

"Itu aku takut abis nonton film horor, lagian aku juga nggak ngapa-ngapain kamu."

"Yah, mana aku tau. Aku 'kan kalau tidur nyenyak banget." Goda Tama sambil memicingkan matanya.

"Aku beneran nggak ngapa-ngapain kamu, Mas."

"Udah nggak usah dibahas, nggak penting juga." Putus Tama.

"Kan kamu yang bahas duluan!" Feby tak terima dengan sikap Tama yang menyebalkan.

"Dek, habis ini kita ke mana?"

"Pulanglah."

"Nggak mau pacaran dulu?"

"Kamu apaan, sih, Mas? Emang kamu nggak geli ngomong kayak gitu?"

"Geli juga, sih. Aku nggak nyangka kalau calon istri aku adalah adik tiri aku."

"Kalau kamu keberatan, kamu nggak usah laksanakan wasiat ayah juga nggak papa, Mas."

"Kalau aku bilang aku sayang sama kamu bukan karena wasiat itu, kamu senang?"

"Maksudnya?"

"Aku sayang sama kamu."

"Sayang aja? Nggak cinta?"

"Bedanya apa?"

"Bedalah, kalau sayang belum tentu cinta, kalau cinta udah pasti sayang."

"Pusing aku denger penjelasan kamu. Intinya aku seneng ada di samping kamu, dan aku takut kehilangan kamu. Kalau kayak gitu apa namanya?"

My Abang, My Crush (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang