40

7.2K 586 8
                                    

Feby terbangun saat subuh, ia kaget saat melihat tempat tidurnya, maklumlah nyawanya belum terkumpul dengan sempurna.

Yah, sekarang ia sedang di rumah Tama. Ia akan tinggal di sini untuk beberapa saat, hingga Tama sembuh.

Feby mengikat rambutnya asal dan bersiap menuju dapur, ia akan membuat sarapan untuk Tama.

Feby memeriksa kulkas, cukup lengkap. Abangnya itu memang suka masakan rumahan, ia kurang suka membeli makanan dari luar.

"Bikin sayur sop aja, aku lagi pingin makan itu. Sekalian goreng ayam, udah aku ungkep, tinggal goreng aja. Goreng tempe sama sambel kecap jangan lupa."

Feby menoleh dan melihat abangnya sudah terlihat segar, sepertinya habis mandi dan sholat subuh.

"Mas mandi sendiri?"

"Maksudnya?"

"Eh, enggak."

Feby menyesali pertanyaan bodohnya. Kaki Tama memang sedang sakit, tapi bukan lumpuh. Ia masih bisa pergi ke kamar mandi sendiri.

"Sholat subuh dulu, baru masak." Tama mengingatkan sebelum berlalu ke kamarnya.

"Em, oke."

***

"Kamu pakai bumbu instan, ya?" Tama mencicipi masakan Feby. Baru kali ini gadis itu yang memasak untuknya. Biasanya selalu ia yang memasak untuk Feby.

"Iya, kenapa?"

"Bumbu sayur sop cuma bawang sama merica kamu nggak tau?"

"Tau, tapi aku males nguleg sama ngupas bawangnya." Alasan Feby. Ia paling malas kalau disuruh mengupas bawang, apalagi mengirisnya. Sudah tangannya bau, matanya perih pula.

"Gitu mau nikah."

"Siapa yang mau nikah sih, Mas?"

"Udah ngebet gitu sama si Leon." Tama menyindir Feby.

"Kamu yang ngebet sama mbak Andin." Feby berkata tak terima.

Mereka makan dalam diam, hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.

"Mas, nanti mas Leon mau jenguk ke sini."

"Kemarin 'kan sudah? Mau jenguk aku apa mau lihat kamu?" kembali Tama menyindir Feby.

"Dia ... Mau ngantar mbak Andin."

"Andin datang juga? Baguslah, aku juga udah kangen sama dia." Tama sengaja memanasi Feby.

"Sekarang siapa yang ngebet?"

***

"Mas Tama udah sehat?" Andin bertanya penuh perhatian. Ia duduk di samping Tama dalam jarak yang sangat dekat. Membuat Tama grogi dan mengusap tengkuknya berkali-kali.

Feby memperhatikannya dengan tatapan tajam. Tiba-tiba Tama mendapat ide.

"Udah agak mendingan, Ndin." Tama menjawab dengan ramah, membuat Andin merasa sangat senang. Biasanya Tama bersikap formal padanya, ia bahkan tak pernah memanggil nama, selalu memangil mbak.

"Syukurlah, aku bakal sering-sering datang kemari buat jenguk Mas Tama, bolehkan?"

"Boleh, datang aja, aku malah seneng." Tama melirik Feby yang wajahnya terlihat sangat masam, dalam hati ia tersenyum senang.

"Mas ini aku bawain buah, kamu sukanya buah apa?" Andin memilah-milah parcel buah yang dibawanya.

"Buah apa aja suka, asal kamu yang bawa."

Feby mendelik kesal, sejak kapan abangnya ini jadi jago menggombal?

"Gimana kalau apel? Aku kupasin, ya?"

"Boleh."

"Ya udah, aku ke dapur dulu, ya? Mau ambil pisau."

Feby kesal dengan tingkah Andin yang seolah sudah mengenal seluk beluk rumah ini. Ia bersikap seperti nyonya rumah di sini, padahal rencana pernikahannya dengan Tama masih sebatas wacana.

"Sekalian ambilin minum, ya? Aku belum minum obat."

Feby kesal karena Tama malah menyuruh Andin, bukan menyuruh dirinya selaku adik. Terus apa gunanya ia ada di sini?

"Apa? Belum minum obat? Ya ampun, udah jam berapa ini? Kamu harus rajin minum obat, Mas. Biar cepet sembuh, terus kita bisa jalan lagi."

Feby merasa mual dengan tingkah kedua orang itu. Menurutnya mereka terlalu berlebihan. Leon menatapnya dari samping, karena terlalu fokus memperhatikan Tama, Feby sampai tak menjawab pertanyaannya.

"Feb, kita ngobrol di luar, yuk? Ada yang pingin aku omongin," ajak Leon sambil menepuk pundak Feby, membuat gadis itu berjingkat karena kaget. Ia tersenyum canggung karena ketahuan melamun.

***

"Mau ngomong apa, Mas?" tanya Feby saat mereka sudah di teras. Meninggalkan Andin yang sedang menjalani adegan suap-suapan apel dengan Tama.

"Abang kamu sama kakak aku, kamu setuju 'kan kalau mereka jadian?" Leon menangkap ada gelagat tidak suka dari Feby.

"Aku sih terserah aja, Mas. Memangnya aku punya hak apa buat ngelarang mereka." Feby berkata pasrah.

"Dari nada bicara kamu, sepertinya kamu nggak suka."

"Perasaan kamu aja kali, Mas."

"Emang kenapa sama kakakku? Kurang cantik?"

"Bukan gitu, Mas. Aku biasa aja kok." Feby merasa salah tingkah karena pertanyaan Leon. Sebenarnya ia sendiri tak mengerti mengapa ia tak menyukai hubungan Tama dan Andin. Tak ada yang salah dengan Andin, ia wanita yang baik dan juga ramah.

"Setelah mereka menikah, kita nyusul, ya?"

"Hah? Nyusul apa, Mas?" tanya Feby kaget. Ia berharap Leon salah bicara dan ia salah mendengar.

"Nyusul menikah."

***

Tama menggeser duduknya setelah melihat Feby menjauh.

"Ndin, makasih ya udah bantu aku."

"Oh, nggak papa, Mas. Aku siap kalau kamu butuh bantuan aku buat manas-manasin Feby."

"Sekali lagi makasih, ya."

"Aku harap berawal dari hubungan kita yang pura-pura ini bisa menjadi nyata, kayak yang di drakor ituloh, Mas."

Tama merasa omongan Andin mulai melantur kemana-mana. Ia hanya bisa tersenyum canggung. Andin adalah gadis yang baik menurutnya, walau ia sudah menolaknya tempo hari, gadis itu masih mau membantunya.

"Jadi akting aku bagus nggak, Mas?"

"Iya, bagus."

"Sebenarnya aku nggak akting loh, Mas. Itu natural datang dari hati aku."

Tama canggung mendengar rayuan Andin, ia segera mengambil sebutir apel untuk mengalihkan perhatian Andin.

"Em, Ndin. Boleh kupasin apel satu lagi."

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now