31

6K 595 10
                                    

Leon menunggu Feby yang sedang bersiap pulang. Berkali-kali ia melihat arloji mahalnya, ia mulai tak sabar, Feby tak kunjung keluar kafe. Ketika ia hendak masuk untuk menyusulnya, tiba-tiba Feby keluar dari kafe, mereka hampir saja bertabrakan.

"Mas, kamu ngagetin aja." Feby memegangi dadanya dan menormalkan pernapasannya.

"Udah mau pulang 'kan?"

"Iya."

"Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat."

"Ke mana, Mas?"

"Ikut aja, ada yang mau aku omongin."

***

"Mas, kamu ngajak aku makan di sini emang kamu punya duit?" Feby melihat sekelilingnya, kafe ini cukup mewah.

"Tenang aja, aku baru dikasih kak Andin lima ratus ribu."

"Dalam rangka apa kamu ngajak aku makan di sini? Bukannya ultah kamu udah lewat."

Feby bertanya polos. Ia percaya saja saat Leon mengatakan hari ulang tahunnya tempo hari, padahal itu hanya karangan Leon saja.

"Menurut lo ada apa?"

"Mana aku tau, Mas. Kamu kok malah ngajakin aku main tebak-tebakan?"

"Kita makan dulu, habis itu kita bicara lagi."

***

"Mas, kita 'kan udah selesai makan. Kamu tadi belum jawab pertanyaan aku." Feby menagih penjelasan dari Leon.

"Lo yang harus jawab, gue mau nanya ke lo."

"Kok jadi aku, sih? Emang mau nanya apa?"

"Feb, sebelum gue ngomong gue kasih disclaimer dulu. Mungkin setelah ini lo akan baper setengah mati, bisa juga lo jadi tersanjung ...."

"Mau ngomong apa, Mas?" Feby terkekeh mendengar perkataan Leon.

"Ini pertama kalinya gue nembak cewek, biasanya gue yang ditembak cewek. Jadi gimana, lo terima 'kan?"

"Gimana-gimana, Mas?" Feby tampak tak paham dengan ucapan Leon.

"Gue baru aja nembak lo, Feby ...."

"Oh ...."

"Gila! Cuma oh doang loh." Leon membulatkan mata karena tak percaya.

"Terus saya harus gimana, Mas? Sujud syukur?" Feby bertanya dengan polosnya, membuat Leon kesal bercampur malu.

"Tau, ah! Bodo!"

"Loh, kok kamu malah marah, Mas?"

Leon tak menjawab pertanyaan Feby, ia tampak sangat kesal dan marah. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela kaca. Ia sangat malu, pertama kali menyatakan perasaan malah respon seperti itu yang didapatkan.

"Mas, kalau saya ada salah saya minta maaf."

Leon masih diam, membuat Feby jadi salah tingkah. Ia mengaruk pelan kepalanya. Tiba-tiba terbit sebuah ide di kepalanya.

"Ya udah, saya nyanyiin aja, ya. Biar kamu nggak marah?"

"Nyanyi apa?" Leon melirik dengan ekor matanya.

"Saya bisanya cuma satu lagu aja, nggak papa 'kan?"

"Ya udah coba."

"Seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik, oh sibuknya aku sibuk sekali ....
Kalau begini akupun jadi bingung. Berusaha mengejar-ngejar dia ...." Feby menyanyikan OST kartun anak-anak.

"Udah, cukup! Kebanyakan nyanyi ntar lo jadi bisu, gendang telinga gue bisa pecah." Leon mengorek telinganya.

"Kok Mas malah hina saya? Padahal orang-orang bilang suara saya bagus."

"Orang gila mana yang bilang begitu?"

Feby diam, ia menyesal karena sudah menunjukkan suara emasnya di depan Leon.

"Feb, lo jawab serius. Lo mau jadi pacar gue?"

"Buat seminggu aja, ya?" Feby tau, Leon tak pernah lama menjalin hubungan dengan seorang wanita. Leon sendiri yang bercerita tempo hari.

"Tergantung, kalau kita cocok bisa perpanjang kontrak."

"Saya nggak mau kontrak, Mas. Masa kayak di drama-drama aja." Feby terkekeh mendengar tawaran Leon.

"Ya udah, jalanin aja dulu. Liat entar."

Feby tampak memikirkan ucapan Leon. Walau ia merasa tak yakin dengan ucapan Leon, tapi tak ada salahnya mencoba. Siapa tau bisa membantu ia melupakan perasaannya pada Tama.

"Em, oke. Saya mau jadi pacarnya Mas. Tapi saya punya syarat."

"Nggak ada kontak fisik, kek di wattpad?" tebak Leon.

"Bukan."

"Jadi boleh?"

"Ish, nggak gitu juga."

"Terus apa? Jangan-jangan berbelit-belit aku udah nggak sabar."

Feby mencibir ulah Leon yang sudah seperti pria yang kebelet pacaran. Kalau kebelet kawin masih mending.

"Kalau kita ternyata nggak cocok, kita putus baik-baik, nggak ada drama-drama."

"Oke."

***

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now