18

7K 720 33
                                    

"Feb, kok lo malah marahin gue? Udah baik gue peduli sama lo."

Feby mengabaikan segala celoteh Leon. Ia bermaksud pergi ke kamarnya. Leon mengikutinya dari belakang.

"Lo baru berantem sama pacar lo, ya?"

"Dia bukan pacar saya, dia kakak saya."

"Oh, gue pikir pacar lo. Abis kelihatan kayak jeales gitu."

Feby mengabaikan ucapan Leon, ia terlalu malas untuk menanggapi. Ia masih memikirkan bagaimana caranya meminta maaf pada abangnya.

"Feb, lo marah sama gue?"

Feby masuk ke kamarnya, ia membanting pintu kencang.

"Feb!"

Di dalam kamar Feby merenungi kesalahannya. Ia merasa sudah berbicara keterlaluan kepada Tama.

Tiba-tiba ia teringat akan kenangan dengan Tama saat mereka kecil. Tama tak pernah mengganggunya. Bahkan ia selalu mengalah padanya. Mungkin karena perbedaan usia mereka yang cukup jauh.

Setelah sang ayah meninggal, Tama merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia memastikan semua kebutuhannya tercukupi.

Feby teringat  akan ekspresi Tama saat ia mengatakan telah membencinya. Ekspresi yang begitu terluka.

Feby kembali menangis, ia sangat menyesal akan perbuatannya.

"Mas Tama, maafin aku."

***

Hari ini Feby berangkat kerja dengan lesu. Leon sudah menunggunya di Lobby.

"Feb, muka lo kucel amat?"

Feby mengabaikan ucapan Leon. Ia pergi ke jalan raya, hendak menyetop angkot.

"Feb, maafin gue. Gue nggak ada maksud bikin kakak lo salah paham. Lagian kita juga nggak ngapa-ngapain."

Feby masih diam tak menanggapi ucapan Leon. Ia masuk ke dalam sebuah angkot yang berhenti di depannya. Leon ikut masuk ke dalam angkot. Ia duduk di samping Feby.

"Ngomong dong, Feb. Lo 'kan bukan Limbad?"

Orang yang duduk di samping Feby tertawa mendengar ucapan Leon. Mungkin ia mengira mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

"Ntar gue jelasin deh ke kakak lo kalau kita nggak ngapa-ngapain. Gue siap tanggung jawab kalau dia minta gue nikahin lo. Tapi lo nggak masalah 'kan kalau gue kasih makan nasi sama masako doang? Saat ini gue lagi diembargo sama keluarga gue, semua fasilitas gue dicabut. Gue lagi miskin mode on."

Feby melirik Leon sekilas. Ia memberi kode untuk diam. Ia malu menjadi bahan tontonan orang satu angkot.

"Maafin ajalah, Dek. Kasian cowok cakep gitu dicuekin. Kalau gue punya cowok cakep gitu, mau gue disakitin kayak apa gue terima. Mau dia sebrengsek apa juga, gue maafin. Orang ganteng mah bebas." Mbak-mbak di sampingnya memberi petuah.

"Iya, Dek. Maafin." Orang-orang di angkot itu menyahuti ucapan mbak-mbak tadi.

"Tuh, Feb. Dengerin. Lo jangan jual mahal lagi. Gue udah capek ngerayu lo."

"Bisa diem nggak, sih!"

***

Andin heran melihat gelagat aneh Feby dan  Leon yang seperti bermusuhan. Ia berinisiatif memanggil Leon.

"Dia kenapa?"

"Oh, itu. Kemarin 'kan gue ke kamarnya ...."

"Apa? Pasti lo gangguin dia, ya? Dasar adik laknat, karyawan gue lo cocol juga." Andin memotong ucapan Leon. Ia bahkan memukuli Leon menggunakan buku tebal, buku pembukuan kafe.

"Aduh, Kak. Sakit! Gue belum selesai ngomong udah main hajar aja."

"Dasar lo, ya! Kalau pilih mangsa 'tuh pilih-pilih. Karyawan gue lo embat juga, kalau dia sampai ngundurin diri dari sini, gue nggak ada harapan deketin abangnya, tau!"

"Denger dulu penjelasan gue. Gue nggak sempat cocol dia, udah keburu ke gap sama abangnya."

"Adik laknattt!"

Leon memutuskan kabur daripada menjadi korban keganasan kakaknya.

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now