41

6.6K 657 3
                                    

Setelah Andin dan Leon pulang, Feby segera membereskan meja tamu. Sedang Tama memperhatikannya dalam diam.

"Kayaknya aku nggak dibutuhkan lagi di sini, Mas. Besok aku mau balik ke flat aja."

Tama merasa ada nada merajuk dalam ucapan Feby. Ia tak merasa heran, ia justru merasa puas karena rencananya berhasil.

"Kenapa kamu bisa mikir gitu?" Tama bertanya dengan santai, sembari memakan apel yang sudah diiris oleh Andin.

"Kamu dengar sendiri 'kan tadi mbak Andin ngomong apa?" sindir Feby.

"Ngomong apa?" Tama bertanya bodoh, membuat Feby memutar bola mata malas.

"Yang dia mau sering datang ke sini buat ngerawat kamu."

"Oh."

Feby kesal karena Tama hanya berkata 'oh' tanpa berniat menghalangi kepergiannya. Ia menghentakkan kaki dengan kesal, dan bersiap pergi ke kamarnya.

"Ya udah, aku mau beres-beres baju aku sekarang."

"Jangan pergi. Aku butuh kamu di sini."

Feby menghentikan langkahnya setelah mendengar ucapan Tama. Ia membalikkan badan dengan kesal.

"Buat apa? Toh kamu lebih senang dirawat sama mbak Andin daripada sama aku?"

"Jangan pergi. Aku takut kesepian." Tama berkata dengan datar.

"Ya udah, secepatnya kamu nikahin aja mbak Andin."

"Oke, kalau kamu bilang gitu. Setelah sembuh aku mau melamar dia." Tama melirik Feby dengan ekor matanya.

"Terserah!"

Feby hendak pergi, tapi tiba-tiba Tama menarik tangannya hingga ia terduduk di samping Tama.

"Kamu kenapa marah?" tanya Tama pelan.

"Siapa yang marah." Feby mengelak, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, ke arah mana saja, asal tak melihat wajah Tama.

"Kamu nggak senang aku dekat sama dia?"

"Udah aku bilang, aku nggak peduli." Feby berusaha melepaskan tangannya, tapi ditahan oleh Tama.

"Tapi kenapa marah? Aku bicaranya slow, kok kamu nge-gas terus?"

Tama menatap tajam mata Feby, membuatnya tak berkutik. Feby masih berusaha melepaskan tangannya tapi Tama semakin kencang menggenggamnya.

"Siapa yang nge-gas? Aku ... Aku ... Hua ...."

Karena tak tahan dipelototi oleh Tama, Feby tiba-tiba menangis. Tama kewalahan menenangkannya.

"Kok malah nangis? Sst ... Tenang." Tama memeluk Feby dan mengelus kepalanya.

"Mas jangan nikah sama dia, hua ...." Tangis Feby semakin menjadi ketika berada dalam pelukan Tama. Entah karena apa, ia sendiri tak tau.

"Kasih tau dulu alasannya." Tama mengelus punggung Feby sembari berbisik di telinganya.

"Pokoknya aku nggak suka! Hua ...."

Feby malah menyembunyikan wajahnya di dada Tama. Ada kekhawatiran di hatinya kalau Tama akan direbut oleh Andin. Jika dulu ia dengan sukarela membiarkan abangnya berpacaran dengan gadis lain, kali ini berbeda. Dulu ia malah mendukung Tama segera menikah, tapi sekarang ia malah takut kehilangan.

"Nggak sukanya kenapa?"

Tama gemas karena Feby masih saja tak mau mengakui perasaannya. Bilang cemburu apa susahnya, sih? gerutu Tama dalam hati.

"Nggak suka aja, hua ...."

"Harus jelas alasannya."

"Nggak suka ya nggak suka, pokoknya Mas harus jauhin dia!" Feby semakin menenggelamkan wajahnya di dada Tama. Seumur-umur baru kali ini posisi mereka begitu dekat. Tama memijat tengkuknya berkali-kali karena canggung, ingin ia menjauhkan tubuh Feby. Tapi gadis itu memeluknya sangat kuat.

Tama menghela nafas berat melihat sikap Feby yang keras kepala, ia rasa inilah saatnya bagi mereka bicara dari hati ke hati.

"Oke, tapi aku ada syarat juga." Tama berkata tenang, Feby mengangkat wajahnya dari dada Tama. Ia menyeka air matanya kasar.

"A-apa?"

"Kamu jauhin Leon juga, bisa?"

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now