9

9.9K 1K 74
                                    

"Mas! Sama aja kayak kita masih tinggal bersama, beda tempat tidur doang." Feby berujar kesal karena Tama seolah tak percaya kalau ia bisa mengurus dirinya sendiri.

"Sebenarnya kamu mau tinggal sendiri karena pingin mandiri atau untuk menghindari aku?"

"Tapi, kan ...."

"Kamu sendiri yang bilang, aku boleh sering-sering ke sini. Kamu lupa?"

"Tapi nggak setiap hari juga, Mas. Seminggu sekali 'kan bisa?"

"Nggak bisa, Dek. Nggak liat kamu sehari aja aku udah kangen."

Feby tertegun mendengar penuturan Tama barusan, entah mengapa ia merasa malu. Perasaan ini tak seperti biasanya.

"Dek, malah ngelamun? Sana mandi, terus siap-siap."

***

Tama benar-benar mengantar Feby interview. Ia menunggu di kafe itu, ia memesan seporsi es krim.

Owner kafe ini adalah seorang gadis seusia Tama. Ia merasa sedari tadi gadis itu mencuri pandang ke arahnya.

"Kamu di antar pacar?" Owner kafe itu melihat ke arah Tama yang sedang sibuk dengan gadgetnya.

"Bukan." Feby ikut melihat ke arah Tama.

"Oh, suami, ya?"

"Itu kakak saya?"

"Yang benar?" Mata gadis itu berbinar mendengar jawaban Feby.

"Iya."

Feby merasa ada yang janggal dengan gelagat gadis itu, ia menatap penuh selidik ke mata gadis itu. Merasa ditatap demikian, gadis itu buru-buru mengalihkan perhatian.

"Oke, kita mulai saja interviewnya. Sebelum kerja di sini kamu sudah pernah kerja di mana?"

"Saya baru lulus SMA, belum pernah kerja."

"Oh, emang kamu nggak mau kuliah?"

"Saya lagi ngumpulin modal."

"Kerjaan di sini gajinya nggak banyak. Kamu nggak papa?"

"Em, nggak papa."

"Kerjaannya nggak terlalu susah, cuma melayani pelanggan, sama bersih-bersih dikit. Bisa?"

"Iya, saya bisa."

"Ya udah, kalau begitu mulai besok kamu mulai kerja." Gadis itu berkata santai sambil menyalami Feby.

"Jadi saya diterima?" Feby tak menyangka interviewnya berjalan sangat lancar, ia merasa ada yang janggal.

"Iya."

"Makasih, Mbak ...."

"Andin."

"Makasih, Mbak Andin. Saya janji akan kerja dengan rajin." Feby berujar senang, sedetik kemudian senyumnya memudar mendengar pertanyaan Andin.

"Feb, kakak kamu jomblo?"

***

"Gimana, Dek? Keterima?" tanya Tama saat melihat Feby menghampirinya.

"Iya." Feby menjawab lesu, Tama merasa aneh dengan gelagatnya.

"Kok kayak nggak senang?"

"Ownernya genit." Feby berbisik sambil melihat ke arah Andin yang masih curi-curi pandang ke arah Tama.

Bukan hal yang mengherankan jika Andin kesengsem kepada Tama pada pandangan pertama. Tama adalah tipe pemuda paket komplit, udah ganteng, putih, atletis pula. Tingginya yang seratus delapan puluh senti itu sering membuatnya dikira model.

Sebenarnya ia mempunyai sepasang lesung pipit, tapi tidak terlihat karena ia jarang tertawa. Hanya orang yang beruntung saja yang bisa melihatnya.

Baik saat masih kuliah maupun sudah bekerja ia selalu saja menjadi bias wanita-wanita di sekitarnya. Sikapnya yang irit bicara bukannya dipandang sombong melainkan cool.

Ponselnya juga tak pernah sepi dari chat mereka, itulah yang membuatnya malas bermain sosial media, baginya WhatsApp saja cukup. Tentu saja hal ini menyulitkan bagi wanita-wanita yang ingin mencuri fotonya. Bahkan ia tak memasang poto profil di WA nya.

"Tau dari mana?" Goda Tama.

"Dia nanyain Mas, udah punya pacar atau belum."

"Ya nggak papa, dong." Tama berkata santai sambil tersenyum. Membuat Feby semakin merasa sebal. Feby merasa Tama genit, karena menikmati dirinya menjadi pusat perhatian wanita-wanita.

"Kayaknya dia nerima aku karena Mas. Dia naksir Mas." Feby tanpa sadar menggerutu.

Saat di atas motor, Feby masih saja diam. Sesekali Tama meliriknya dari kaca spion. Wajah Feby terlihat murung.

"Kenapa lagi?" Tama bertanya sambil menepuk tangan Feby yang melingkar di perutnya.

"Nggak papa."

"Kamu cemburu?" canda Tama.

"Ih, kenapa juga aku cemburu?" Feby buru-buru mengelak. Ia merasa abangnya itu bicara ngawur.

"Terus kenapa kamu marah?"

"Aku nggak marah, aku cuma ...."

"Dek, kita mampir supermarket, ya? Aku mau ngisi kulkas kamu." Tama memotong ucapan Feby dan memarkir motornya di depan sebuah supermarket.

Ada baiknya juga, setidaknya Feby tak perlu mengarang alasan untuk menutupi kecemburuannya.

Tunggu! Apa? Cemburu? Tidak, tidak mungkin. Feby menggelengkan kepala karena merasa konyol dengan pemikirannya.

Tama menyadari ulahnya, ia bertanya keheranan.

"Dek, kamu pusing?"

"Eh, enggak Mas."

***

Di supermarket Tama membeli banyak bahan makanan. Ada beragam sayuran, buah, ikan, daging dan bumbu-bumbu lain. Saat ini mereka berdua sudah tampak seperti sepasang suami istri yang sedang berbelanja.

"Mas, apa nggak kebanyakan?" protes Feby. Ia ragu belanjaan sebanyak itu muat di kulkas mininya.

"Buat persediaan seminggu, Dek. Katanya  aku nggak boleh setiap hari ke tempat kamu?"

"Oh, iya." Feby menjawab lesu.

Entah mengapa hatinya merasa sedih mendengar Tama hanya akan mengunjunginya seminggu sekali saja. Aneh, padahal dia sendiri yang memintanya.

"Dek, kamu nggak beli cemilan juga? Mumpung di sini?"

"Nggak usah, Mas."

"Bukannya kalau malam kamu suka lapar? Beli sekalian gih! Kamu 'kan tinggal sendiri, nggak bisa nyuruh aku beli makanan malam-malam lagi."

Feby menuruti saran Tama, ia memang sering terbangun karena lapar. Feby memasukkan beberapa bungkus keripik kentang, biskuit dan coklat.

"Nggak beli pembalut juga?"

"Mas!" Feby malu teringat ia sering menyuruh Tama untuk membelikannya pembalut.

"Beli yang ukurannya paling besar sekalian, biar nggak cepat habis."

"Ih, apaan sih, Mas?"

"Bener, dong. Kamu 'kan tinggal sendiri. Siapa yang kamu suruh beli kalau tiba-tiba habis?"

Dengan kesal Feby memasukkan pembalut dengan isi paling banyak ke dalam troli. Tama tersenyum melihat ulahnya.

"Pake malu segala. Aku 'kan udah sering beliin kamu. Ngomong-ngomong bukannya biasanya kamu pakai yang ada sayapnya yang warna ungu?" Tama memang sudah hafal pembalut yang biasa dipakai Feby.

"Mas!"

Feby memang telah salah mengambil pembalut, karena kesal ia jadi salah ambil. Sekarang ia jadi malu sendiri. Ia menyesal karena dulu sering menyuruh Tama membelikan pembalut.

"Nggak mau sekalian beli skincare juga?"

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now