47

7.8K 674 13
                                    

Setelah semua drama penuh air mata di kamar Tama, kini mereka berdua duduk di ruang makan, menghadap es krim masing-masing.

Orang bilang makanan manis dan dingin ini mampu merangsang hormon endorfin yang membuat seseorang bahagia. Jadi mari kita buktikan. Feby memasukkan sesendok kecil es krim ke mulutnya.

"Jadi itu alasan kamu nggak ngebolehin aku pacaran, Mas?"

Tama bergerak gelisah dalam duduknya, berkali-kali dia memijit tengkuknya karena salah tingkah.

"Hem, iya."

"Dasar tua bangka licik!"

"Tu-tua bangka?"

"Udah, diam! Nggak usah protes. Di sini 'tuh aku yang lagi marah."

Tama hanya bisa diam, menahan rasa tak terima karena disebut tua bangka.

"Jadi itu alasan kamu nggak ngijinin aku berkeliaran dengan pakaian minim di rumah ini?"

"Itu demi kemanan kamu, bagaimanapun juga aku ini pria normal. Kalau dipancing-pancing terus ya bakalan ...."

"Apa?"

Feby melotot mendengar jawaban Tama, jadi selama ini, selama bertahun-tahun ia tinggal bersama laki-laki mesum seperti Tama. Rasanya ia bisa mengerti apa yang dibilang Silvia, mantan pacar Tama tempo hari. Mereka bukanlah kakak adik kandung bagaimana mungkin mereka tinggal seatap tanpa orang tua?

"Eh, enggak."

Tama buru-buru mengelak, saat ini wajah Feby terlihat sangat menyeramkan karena marah. Gadis itu merasa dihianati, perasaannya yang tulus sebagai adik malah dibalas lain.

"Dasar tua bangka mesum!"

"Hey, berhenti mengatai aku tua bangka."

"Emang kenyataanya kamu tua. Apa? Nggak terima?" Feby menantang sambil melotot.

"Ya udah, terserah." Tama hanya bisa mengalah. Toh mengalah bukan berarti kalah.

"Jadi sekarang gimana?"

"Tetap pada kesepakatan, kita coba hubungan ini, Dek. Kita pacaran."

"Udah, Mas. Nggak usah terlalu frontal juga, kupingku jadi geli." Feby mengorek kupingnya dan bergidik. Mendengar kata 'pacar' membuat kupingnya iritasi.

"Kamu putusin Leon."

"Kamu juga putusin mbak Andin." Feby tak mau kalah.

"Aku sama Andin nggak ada hubungan apa-apa." Tama menjelaskan dengan santai.

"Yang benar? Terus kamu ngapain kamu ngajak dia ketemuan pas malam valentine?"

"Kok kamu tau?"

Feby panik mendengar pertanyaan Tama, jangan sampai ketahuan kalau ia sudah memeriksa ponsel pria itu.

"Di-dia yang cerita." Feby menjawab dengan terbata-bata.

"Itu aku nanya ke dia, soal hubungan kamu sama Leon."

"Tapi kenapa harus pas malam valentine?"

"Aku juga nggak nyadar kalau itu malam valentine, Dek. Aku aja nggak tau valentine tanggal berapa."

Feby lega mendengar penjelasan Tama, tapi ia gengsi. Jangan sampai Tama tau kalau ia merasa senang.

"Alesan!"

"Nggak percaya ya udah, belum jadi istri kamu udah cemburuan aja." Goda Tama.

"Istri apa?"

"Istri akulah. Ya udah, aku minta maaf, jangan cemburu lagi ya, Sayang."

"Mas! Sejak kapan sih kamu jadi mesum gini? Mana tukang gombal."

"Sejak aku tau kalau perasaan aku nggak bertepuk sebelah tangan."

Feby salah tingkah karena Tama memanggilnya sayang. Padahal dulu ia juga sering dipanggil dengan sebutan itu.

Tapi tetap saja terasa aneh. Ia menganggap panggilan sayang yang dulu ditujukan oleh kakak kepada adiknya, tapi sekarang?

"Pede banget?"

"Apa salah? Kamu 'kan juga sayang sama aku?" Kini Tama merasa tak ada yang perlu ia rahasiakan lagi. Mulai sekarang ia akan lebih terbuka kepada Feby tentang perasaannya.

"Sama kucing juga aku sayang, lingkungan aku sayang, sama nasi sisa juga aku sayang. Nah, gorengan jatuh pun aku sayang." Feby mematahkan argumen Tama.

"Kamu sebenernya ngerti maksud aku, Dek."

Feby berdehem, ia tak nyaman membicarakan masalah ini. Ia mencari topik lain untuk mengalihkan pembicaraan.

"Mengingat status hubungan kita yang udah berubah, nggak etis rasanya kalau aku tinggal di sini. Hari ini juga aku mau balik ke flat. Aku liat kamu juga udah sehat, Mas. Jadi aku rasa kehadiran aku di sini udah nggak diperlukan lagi."

"Siapa bilang nggak diperlukan?" protes Tama. Sebenarnya Ia takut jika Feby kembali ke flat, maka ia akan bertemu Leon.

"Jadi kamu mau kita tinggal seatap seperti pasangan kumpul kebo? Terus kita digrebek oleh warga?"

"Nggak papa, biasanya ujung-ujungnya yang seperti itu bakalan dinikahin."

"Mas! Kamu ngebet banget, sih?"

"Aku udah 26, Dek."

"Udah, jangan ngejawab mulu!"

"Oke, aku diam. Jadi sekarang kita pacaran kan, Dek?"

Feby mendengus mendengar pertanyaan Tama. Mengapa harus diperjelas, sih? Ia tak suka topik ini dibahas terus.

"Entahlah."

"Tapi aku nggak setuju kalau kita sebut hubungan kita ini pacaran, rasanya lebih tepat kalau disebut ta'aruf."

"Dari perkataan kamu seperti kita akan menikah dalam waktu dekat ini, Mas?" sindir Feby.

"Kan tujuannya memang ke situ? Niat baik ngapain ditunda-tunda, Dek?"

"Tapi aku geli ngebayangin aku jadi istri kamu, Mas."

"Bagian mana yang bikin kamu geli?"

"Ya bayangin aja! Sedari kecil kita dibesarkan sebagai kakak adik. Masa setelah dewasa tau-tau kita menikah. Aku nggak ngerti jalan pikiran ayah saat menjodohkan kita."

"Mungkin menurut ayah, semua ini yang terbaik bagi kita."

"Tetep aja ini terasa aneh, Mas."

"Bukannya ada cerita drakor yang seperti kisah kita ini?" Tama ingat pernah menonton drama itu bersama Feby.

"Endless love, tapi yang ceweknya mati, kena kanker darah. Tapi di cerita itu cowoknya ganteng, nggak kayak kamu."

"Emang aku kenapa?"

"Pikir aja sendiri."

Tama menghela nafas berat, ia mulai bicara serius.

"Dek, jujur sama aku."

"Apa?" Feby melirik Tama dengan ekor matanya, ia penasaran akan apa yang ditanyakan Tama hingga sampai memasang wajah serius begitu.

"Aku ... Aku ganteng, nggak?"

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now