Ending

415 18 0
                                    

Lebih sepuluh menit dari waktu yang di tempuh untuk acara akad pernikahan Ayana Harun sampai di Wonosalam. Tempat di mana kekasih hatinya tinggal selama dua puluh tiga tahun. Mesin mobil belum berhenti, Harun langsung membuka pintu mobil dan berlari sekuat tenaganya agar dia cepat sampai di rumah Ayana. Panggilan dari Bagas seolah-olah hanya angin lalu yang tak di anggap sama sekali olehnya.

D’ay aku mohon tunggu akuJangan nikah Dek.Aku mohon jangan menikah dengan dia.Kasih aku kesempatan lagi untuk menjadi imammu.

Aku mohon jangan tinggalin akuAku mohon dekHanya tinggal beberapa langkah lagi Harun sampai di depan pintu rumah Ayana yang sudah di hiasi bagai istana megah.

Suara kerasnya microphone tak di dengarannya sama sekali. Hingga pada akhirnya suara satu kata yang serempak membuat kaki Harun melemas seketika. Dadanya sesak. Napasnya tersekat. Tulang-tulang yang selama ini menyangga tubuhnya serasa lepas dari dalam persendiannya.

“Sah.”

Suara para saksi serta beberapa orang yang berada di dalam kediaman rumah Ayana terdengar jelas dari microphone yang terpasang. Sungai kecil merambat membasahi pipi milik Harun.

Semua telah terlambat, tidak ada lagi Ayananya. D’ay-nya sudah pergi. Hidupnya kini sendiri lagi. Penantiannya telah sia-sia. Pujaan hatinya telah di halalkan oleh lelaki lain. Tatapan Harun menjadi kosong. Tubuhnya meluruh bersandar tanah yang sudah di pavling.

Bagas yang berdiri tidak jauh dari Harun langsung segera berlari menghampirinya. Bagas mendirikan tubuh Harun dengan susah payah akibat tubuh Harun yang melemah. Tanpa terasa pipi Bagas juga basah. Bukan karena melihat dan mendengar Ayana sudah menikah, melainkan melihat wajah terpuruk adiknya yang sangat kacau.

Entah bagaimana perasaan Harun saat ini, yang Harun ketahui hatinya hampa. Kosong tak lagi ada kehangatan di dalamnya. Dadanya sesak secara tiba-tiba. Pusing mendadak membuatnya memejamkan kedua kelopak netranya secara perlahan.

“Kita pulang?” tanya Bagas yang membuat Harun membuka kedua netranya perlahan.

“Aku telat ya Ang? Hahaha,” Harun tertawa dalam tangisnya.

“Run.” Harun tersenyum miris dan menggeleng membuat hati Bagas menjadi sesak. Bagas tahu ini semua memang kesalahan Harun, namun Bagas juga tidak tega melihat adiknya seperti ini.

Harun melepaskan telapak tangan Bagas secara perlahan. Kedua kakinya yang semakin berat mulai melangkah memasuki ruangan yang begitu indah.

“Dek.” Semua menoleh ke arah suara serak yang di hasilkan oleh Harun.

Tubuh Ayana menegang seketika. Air matanya jatuh secara tiba-tiba. Dadanya begitu sesak mendengar suara tersebut. Suara yang telah berada di dalam hatinya selama bertahun-tahun. Kenapa Harun harus datang sekarang, bukan sebelum acara ini terlaksana?

Ayana membalikkan tubuhnya secara perlahan. Kakinya melemas seketika. Pandangannya memburam di penuhi air mata yang telah berhasil membasahi wajah cantiknya. Semua orang memandang wajah Harun serta Ayana secara bergantian.

“Karun,” lirih Ayana. Hidung Ayana mulai terasa panas. Air matanya yang sempat tergenang beberapa detik lalu luruh begitu saja tanpa di minta.

Rifa memandang wajah anaknya begitu sakit. Bukankah ini yang di harapkan dirinya dahulu, anaknya tidak menikah dengan Harun. Namun mengapa justru sakin melihat anaknya menangis karena tak mampu menikah dengan Harun?

Harun melangkahkan kakinya mendekati Ayana. Kedua netranya sudah mulai memanas kembali kala melihat Ayana memakai kebaya putih yang begitu pantas melekat di tubuhnya.

Hatinya hancur berkeping-keping saat memahami ini semua salahnya. Andai dia tidak terlambat datang ke rumah Ayana, hal ini tidak akan terjadi.  Ayana akan menikah dengannya hari ini, bukan dengan orang lain.

Ayana √Where stories live. Discover now