Khitbah

154 11 0
                                    

Saat yang di tunggu telah tiba. Tepat saat Ayana usai melaksanakan sholat isya’, pintu di ketuk beberapa kali. Ayana melihat dari arah jendela kamarnya. Beberapa orang datang dengan membawa sebuah bingkisan yang bisa di bilang lumayan banyak.

Ayana menghembuskan nafasnya yang terasa tercekat dengan sendirinya. Dadanya kembali sesak saat dia kembali teringat dengan lelaki yang hingga sekarang tak menghubunginya sama sekali. Apakah rasa cintanya kepada Ayana memang sudah hilang semenjak Ayana mengungkapkan kebenaran sebelum dia naik ke dalam kereta?

Ayana tidak bodoh untuk tidak mengetahui bagaimana perubahan raut wajah Harun kala itu. Ayana tau bahwa Harun sangat kecewa serta bingung harus berbuat apa. Ayana juga tak mampu untuk mendesak bahwa Harun harus mau menerimanya apa adanya. Cukup dengan saat itu Harun mengungkapkan perasaanya kepada Ayana dan membuat Ayana bahagia, walau sekarang dia harus merasakan sebuah sakit untuk yang kesekian kalinya.

Cinta itu tak harus saling memiliki. Ada kalanya yang kita anggap benar belum tentu benar. Ada kala apa yang kita lihat salah, itu justru sebuah kebenaran. Tak ada yang mengetahui takdir seseorang, bahkan itu jika dirinya sendiri. Cinta itu bagai ilmu gravitasi dalam fisika. Kemanapun kamu terbang jauh ke atas langit, maka  akan kembali ke tanah. Cinta itu bagai matematika dalam kehidupan. Banyak yang membenci namun sangat di butuhkan dalam sebuah kehidupan.

Cinta tak mampu di ukur dengan berapa banyak uang yang berada dalam saku. Cinta tak mampu di ukur dengan thermometer panasnya. Cinta tak mampu di ukur seberapa banyak kilo gram beratnya. Cinta tak mampu di ukur berapa kilo meter panjangnya. Namun cinta itu ya cinta. Tak akan mampu jika di bandingkan dengan apapun.

Terkadang memang sulit jika harus memilih antara cinta dengan kehidupan. Tapi hidup itu adalah sebuah pilihan. Kemana dan dengan siapa kamu melangkah menyusuri lika-liku kehidupan di dalam dunia yang fana’ ini.

“Kak, tamunya udah datang. Ayo turun ke bawah,” panggil Rifa yang membangunkan Ayana dari lamunan singkatnya.

“Iya Buk, Ayana siap-siap dulu. Nanti kalau sudah selesai Ayana langsung turun ke bawah.”

Tanpa ucap, Rifa kembali menutup pintu kamar Ayana yang tadi sempat di buka olehnya. Ayana memejamkan kedua netranya, berharap bahwa ini hanyalah sebuah mimpi. Namun itu semua hanyalah keinginan yang tak mungkin berkewujudan. Pasalnya di bawah sana sudah terdengar ramai karena banyak orang yang ikut melamar Ayana.

Semua tatapan berubah menjadi ke arah Ayana saat dia melangkah menuju ruang tamu. Dengan anggunnya, Ayana duduk di sebelah Rifa. Acara berjalan dengan lancar, sebelum acara pemakaian cincin yang akan di bantu oleh Rifa kepada Ayana.

Tanpa Ayana sadari, cincin yang berasal dari Harun masih bertengger indah di jari manisnya. Semua orang memandang Ayana, tak terkecuali dengan Putra yang mengetahui hal tersebut. Dengan dada yang sedikit sesak, Ayana mengganti cincin yang di berikan oleh Harun ke arah jari manis sebelah tangannya.

Usai pemakaian cincin di jari manis Ayana, kini berganti menjadi Putra. Dengan senyum bahagia, Putra memandang wajah elok milik Ayana yang sedari tadi menundukkan pandangannya. Putra sadar, bahwa sebenarnya Ayana hanya terpaksa dengan pernikahan ini, namun Putra bertekad bahwa jika dia akan selalu membuat Ayana bahagia apapun caranya.

“Maaf, apa boleh saya berbicara sebentar dengan Lestari?” tanya Putra saat beberapa orang tengah sibuk dengan jamuan yang berada di depannya. Hening sesaat, hingga akhirnya Nono menganggukkan kepalanya dan dengan syarat harus ada yang menemani.

“Ada apa Mas?” tanya Ayana saat mereka berdua sudah berada di depan teras.

“Maaf sebelumnya. Mas cuma mau tanya. Sebenarnya, apa yang buat kamu setuju dengan pernikahan ini?”

Ayana menghembuskan nafasnya perlahan.  “Ayana minta maaf sama Mas sebelumnya tentang masalah cincin yang tadi. Mungkin Mas kecewa dengan Ayana.”

Putra tersenyum hangat. “Enggak, aku tau bagaimana perasaan kamu Tar. Mas hanya ingin tau penyebab kamu menerima lamaran dari Mas. Bukannya ini sudah lebih dari satu bulan? Dan lagi, bukankah kamu sebelumnya juga mendapat lamaran dari seseorang yang berada di Cirebon?”

Ayana menolehkan wajahnya ke arah Putra.  “Dia nggak ada kabar sama sekali Mas. Aku waktu itu sudah kasih dia waktu hingga satu bulan. Sesuai kesepakatan, jika dalam tempo waktu satu bulan dia nggak kasih aku kepastian ataupun kabar, maka saat itu juga lamaran kami batal.”

Putra memandang lekat wajah Ayana yang sudah mulai memerah menahan tangisnya.  “Tapi ini sudah dua bulan dan dia belum kasih aku kepastian dan kabar sama sekali. Aku anggap pernyataan dia waktu itu hanya bualan semata. Dan yang terpenting, Ibuku nggak suka sama dia jadi mau gimanapun nantinya, aku sama dia nggak bakal bisa bersama.” Ayana tersenyum miris saat mengucapkan kalimat di akhirnya.

“Aku minta maaf ya Mas kalau Mas merasa bahwa Mas hanya sebagai pelarian aku. Tapi dengan sebaik mungkin, nanti aku akan berusaha untuk menjadi istri serta ibu untuk Mas serta Boy,” lanjut Ayana.

Putra tersenyum kecil. “Dengan melihat kamu bahagia aku sudah bahagia Tar. Aku nggak akan merasa di buat pelarian sama kamu. Aku justru bahagia karena saat kamu seperti ini, aku yang kamu pilih untuk menyembuhakan luka di hati kamu.”

“Sekali lagi maaf dan terima kasih ya Mas,” ujar Ayana tulus serta mendongakkan pandangannya menatap Putra yang tengah tersenyum manis ke arahnya.

“Sama-sama. Ya sudah, kita masuk sekarang?”

“Iya, ayo.”

“Yana, Putra, ayo masuk sudah di tunggu yang lain,” ujar Rifa dari kejauhan.

Ayana dan Putra menoleh ke asal sumber suara. Tanpa mereka ketahui, ternyata sedari tadi Rifa mendengar apa yang tengah di ucapkan oleh Ayana.

“Iya Bu,” jawab Ayana dan Putra secara bersamaan.

“Udah di panggil Bu, Ayana-nya?” tanya Nono saat mengetahui Rifa sudah duduk di sebelahnya.

“Sudah Pak, sebentar lagi mereka masuk kok.”

“Baik, sebelumnya saya mewakili rombongan dari Nak Putra ingin menyampaikan banyak terima kasih atas sambutan hangat dan juga jamuan yang telah di berikan oleh Bapak Nono sekeluarga.”

“Sama-sama,” ujar kompak Nono dan juga semua tetangga yang hadir dalam acara tersebut.

“Karena hari sudah semakin larut, saya beserta rombongan unjuk pamit untuk pulang ke rumah.” Semua orang berdiri, begitu juga dengan Ayana beserta keluarga serta beberapa tetangganya.

“Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

“Salam buat Boy Mas,” pinta Ayana kala mengantarkan Putra ke depan pintu rumahnya.

“Iya. Ya udah ya, aku pamit. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Usai semua tamu beranjak dari rumah Nono, semua orang yang berada di sana saling membantu membersihkan kotoran-kotoran yang berada di ruang tamu. Ada yang mencuci piring, gelas, mangkuk. Ada yang menyapu lantai. Ada yang melipat tikar. Dan masih masih banyak yang lainnya.

Namun, ada juga bapak-bapak yang tengah berbincang di teras rumah Ayana beserta dengan Nono. Di temani beberapa camilan ringan, serta kopi panas, membuat bapak-bapak tersebut merasa betah berlama-lama berada di sana. Hingga pukul 23.00 barulah mereka semua berpamitan untuk pulang, sedangkan Ayana sudah berada di dalam kamar tengah menangis sendiri dalam diamnya.

-----o0o-----

Sakit saat jatuh cinta itu pasti. Yang harus kita lakukan adalah mengambil sebuah kebijakan untuk menghadapi masalah tersebut. Melawan rasa sakit, atau justru menggantinya dengan sebuah rasa bahagia?

-----o0o-----

Ayana √Where stories live. Discover now