Buah Tangan

61 8 0
                                    

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Harun menemui Ayana yang tengah berdiri bersender di samping motor miliknya. Harun menatap Ayana dari kejauhan. Kerudung yang di gunakan oleh Ayana berhembus ke samping kanannya. Entah kenapa, angin pagi ini terasa berhembus sangat kencang.

Membaca qur’an secara diam menjadi rutinitas Ayana selama ini saat dia berada di luar ruangan. Ayana memejamkan kedua netranya untuk membaca beberapa ayat-ayat suci tanpa memerhatikan orang di sekitarnya. Mulutnya berkomat-kamit melafadzkan hafalannya selama ini.

Hampir lima menit Ayana memurojaah hafalannya. Merasa ada yang memerhatikannya sedari tadi, akhirnya Ayana memutuskan untuk membuka kedua netranya. Sekali, dua kali Ayana mengerjapkan kedua netranya guna menyesuaikan dengan cahaya di sekitarnya.

Perlahan Ayana menolehkan kepalanya ke arah samping, letak di mana dia merasa di awasi oleh seseorang. Dan benar saja, kini ada Harun yang tengah memandangnya sembari tersenyum manis ke arahnya. Menyadari kehadiran Harun di sampingnya, Ayana membalas senyum Harun dengan tidak kalah manisnya.

“Udah dari tadi?” tanya Ayana canggung karena merasa di pandang dengan intensif secara dekat oleh Harun.

“Enggak kok, santai aja. Kamu mau aku semakin?” tawar Harun.

“Eh, enggak usah. Belum lancar aku,” tolak Ayana.

“Ya udah, ayo kita pulang dulu.”

“Iya ayo.”

Setelah beranjak dari makam, Harun tidak membawa Ayana pulang ke rumahnya. Ayana yang tidak mengerti alur jalan pulang ke rumah Harun hanya diam saja. Mulutnya berkomat-kamit melanjutkan hafalannya. Sesekali Ayana menoleh ke arah ponselnya kala dia melupakan harakat, huruf, ataupun kalimat serta urut-urutan selanjutnya hafalan yang tengah dia baca.

Tanpa Ayana sadari, Harun tersenyum sendiri saat dia sesekali memandang wajah Ayana yang fokus ke depan sembari mengucapkan sesuatu tanpa suara. Ingin rasanya Harun selalu bersama Ayana seperti ini tanpa ada sebuah halangan lagi.

Namun Harun memahami, belum sekarang saatnya dia bersama dengan Ayana. Suatu kepastian yang akan Harun harapkan adalah saat dia nanti bisa menikah dan memiliki beberapa anak, Harun dan Ayana selalu bersama. Hidup bahagia dengan sebelumnya mendapat restu dari keluarga. Baik dari pihak Ayana maupun Harun sendiri. Bahkan dengan membayangkannya saja senyum Harun semakin lebar, apalagi jika memang hal itu terjadi.

“Kakak kenapa senyum-senyum?” tanya Ayana heran saat tak sengaja irisnya mendapati Harun tengah senyum-senyum sendiri di atas motor yang di kendarai olehnya.

“Kamu tau nggak?” Ayana diam menunggu kelanjutan ucapan dari Harun. Namun beberapa detik berlalu, Harun masih juga belum melanjutkan ucapannya.

“Apa?”

“Kamu itu seperti oksigen di dalam hidupku. Senyummu, tawamu, membawa kebahagiaan tersendiri untukku. Tapi, tanpa adanya kamu, mendengar suara tangismu membuat hatiku menjadi teriris.” Wajah Ayana memanas kala mendengar penuturan dari Harun.

“Gombalmu receh banget!” celetuk Ayana mengelak menahan rasa gugupnya.

“Kita mau kemana kok nggak sampai-sampai?” tanya Ayana karena merasa bahwa sedari tadi mereka menaiki motor tidak juga sampai rumah milik Harun.

“Jalan-jalan,” jawab Harun santai.

“Kak, bukannya tadi kita udah ngelewatin jalan ini ya?”

“Emang.”

“Terus?”

“Mau berduaan sama kamu tanpa di ganggu orang aja,” jawab Harun sembari terkekeh.

Ayana √Where stories live. Discover now