Boy dan Putra

135 12 0
                                    

“Bunda duduk sini!” teriak Boy saat melihat Ayana berjalan di sampingnya. Entah keberuntungan dari mana, Ayana mendapat nomor urut kursi setelah Putra.

“Kok baru pulang sekarang Mas, ada acara lain ya di Cirebon?” tanya Ayana basa-basi kepada Putra saat melihat Boy sudah terlelap di atas paha milik Putra.

“Enggak sebenarnya, cuma Boy aja yang ngebet ingin jalan-jalan dulu katanya. Ya udah, si bapak muda ini ngikutin apa maunya anak kan?” jawab Putra sembari terkekeh, sedangkan Ayana juga ikut terkekeh geli mendengar curhatan dari Putra.

“Kamu ngantuk?” tanya Harun saat melihat Ayana mulai menguap pelan dan menutup mulutnya yang terbuka menggunakan punggung tangannya.

“Iya Mas, kemarin tidur udah tengah malam, tadi pagi bangunnya waktu habis adzan subuh. Efeknya baru kerasa sekarang.”

“Ya udah kamu tidur aja duluan, nanti kalau udah sampai kamu aku bangunin. Kalau nggak gitu biar di bangunin sama Boy kayak waktu itu.”

“Iya Mas, maaf ya nanti kalau aku tidurnya berisik, hehehe.”

“Iya nggak papa. Sekarang kamu istirahat aja.”

Dengan perlahan netra yang tadinya terbuka mulai tertutup secara perlahan. Wajah cantik masih saja tercipta jelas milik Ayana. Tanpa Ayana sadari, kepalanya mulai merosot ke bahu kanan milik Putra. Tidak ingin membangunkan Ayana dari tidur lelapnya, putra justru membantu Ayana mencari letak ternyamannya agar nanti ketika terbangun Ayana tidak merasakan pegal di lehernya.

Senyum tanpa di minta terpancar dari wajah Putra.  Putra memegang kepala Ayana yang bertutup kerudung secara perlahan dan di arahkan tepat di depan dadanya. Jantung Putra terasa berdegub secara cepat, seperti saat dia dulu tengah bersama dengan mendiang istrinya.

Perjalanan yang cukup melelahkan. Usai meletakkan kepala Ayana di depan dadanya, Putra juga mulai memejamkan kedua netranya. Berharap semoga Ayana kelak mau menjadi istrinya, menjadi ibu dari Boy dan juga anak-anak mereka kelak. Jika dikatakan Putra egois, biarkan saja, karena hati tak pilih-pilih ingin berlabuh kepada siapa.

Dengan senyum yang masih tercipta walau dengan kedua netra yang terpejam, Putra mengelus kepala milik Boy dan bergumam dalam hatinya, “semoga Ayana kelak bisa menggantikan Bunda kamu yang sebenarnya Nak.”

Jika di lihat, mungkin saja orang-orang di dalam kereta mengira bahwa mereka adalah sebuah keluarga yang harmonis. Namun jika Harun yang melihat kejadian tersebut, sudah di pastikan akan tercipta sebuah konflik salah paham untuk yang ke sekian kalinya.

Suara kruyuk dari dalam perut mulai membangunkan Ayana dari tidur lelapnya. Sinar mentari mulai beranjak menuju ke ufuk barat. Sinar jingga mulai terlihat indah walau terlihat samar dari balik jendela kereta. Dengan perlahan, Ayana mengerjapkan kedua netranya. Tatapan pertama yang di lihatnya adalah kursi kereta berwarna cream yang tampak lumayan mewah. Ayana merasakan bahwa saat ini dia tengah nyaman tidur di dada seseorang.

Dengan segera, Ayana menjauhkan kepala serta tubuhnya dari dada bidang milik orang yang sedari tadi menahan berat tubuh serta kepalanya. Ucapan istighfar mengalir begitu saja dari bibir milik Ayana. Putra yang merasa terusik karena mendapat gerakan secara tiba-tiba dari Ayana membuatnya mau tidak mau terbangun dengan kepala yang sedikit pusing.

Dengan mengerjapkan beberapa kali kedua kelopak netranya, Putra melihat Ayana yang tengah mengumamkan sesuatu yang tidak terlalu jelas dari penglihatan netranya. Setelah merasa kesadarannya terkumpul, Putra menepuk perlahan bahu Ayana. Walau secara perlahan, tindakan tiba-tiba yang di hasilkan oleh putra mampu membuat Ayana terlonjak kaget hingga menegakkan tubuhnya secara cepat.

Tanpa berucap, Ayana langsung berdiri dari tempat duduknya menuju ke arah toilet. Ucapan istighfar tak henti-hentinya di lontarkan oleh Ayana. Setelah mengambil wudhu, Ayana kembali lagi ke arah tempat duduknya tadi berada.

Ayana √Where stories live. Discover now