Keputusan

128 9 0
                                    

Hawa dingin di sebuah perdesaan kini mulai menyambut hari-hari Ayana lagi. Waktu untuk mengajar anak TK juga langsung menyambutnya. Sejenak Ayana memandang wajah Harun dari balik layar ponselnya sebelum akhirnya bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air suci umat islam. Dingin yang menyeruak ketika menyentuh kulit di rasakan langsung oleh Ayana.

Terserang flu secara mendadak adalah sebuah rutinitas di pagi hari ysng di rasakan oleh Ayana. Terlebih, tubuhnya harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang di tempati olehnya saat ini.

Hari-hari di lalui olehnya secara bahagia. Berkumpul bersama dengan anak kecil, tertawa bersama mereka mampu melupakan penat yang di rasakan olehnya. Sudah dua bulan  lamanya Ayana berada di rumah semenjak kepulangannya dari Cirebon. Dan sejak saat itu pula tak ada pesan sama sekali yang di kirim oleh Harun. Lebih parahnya, semenjak saat itu pula semua akun milik Harun seolah mati di telan masa.

Rasa cemas menghantui Ayana. Hanya foto Harun yang di ambilnya dari salah satu aplikasi berwarna biru bergambar burung yang menjadi teman curhatnya selama ini. Lagi-lagi apa yang di harapkan oleh Ayana tak terkabulkan. Foto di dalam wallpaper WA milik Harun juga hilang sejak kepulangannya waktu itu.

Besok adalah hari penentuan di mana Ayana akan memutuskan. Apakah dia akan bertahan dengan rasa yang di miliki serta menetap di dalam hatinya, ataukah melepaskannya pada seorang duda muda beranak satu.

Air mata Ayana menetes satu persatu saat melihat foto Harun. Sesak rasanya saat dia kembali mengingat kenangan-kenangan yang telah dia jalani bersama Harun selama ini. Sosok manisnya saat dia berbicara kepadanya. Kehangatan sikap yang telah dia berikan kepada Ayana dua bulan yang lalu.

“Kenapa sesakit ini saat mencintai kamu Kak,” isak Ayana memeluk foto Harun yang berada di dalam ponselnya.

“Apakah aku harus menyerah untuk yang ke sekian kalinya? Apa aku harus bener-bener ngerelain kamu pergi dari hidupku untuk selamanya? Kenapa rasanya sesakit ini?!”

Ayana memejamkan kedua netranya. Lagi-lagi Ayana harus menangis karena Harun. Lagi-lagi Ayana hanya mampu merenungi kisahnya bersama Harun selama ini. Sesak di dalam dadanya membuat Ayana tersadar dan mencoba untuk menghentikan tangisnya. Namun keadaan berbanding terbalik dengan apa yang di alami olehnya. Air matanya lagi-lagi luruh semakin deras saat kilasan wajah serta kenangan bersama Harun tampak di pelupuk netranya yang tengah terpejam.

“Aku nggak kuat lagi Kak. Kamu selalu giniin aku. Apa yang harus aku lakukan?” lirih Ayana saat membuka netranya secara perlahan.

Jam di dinding sudah menunjukkan waktu tengah malam. Perlahan Ayana memejamkan kedua netranya kembali. Di tarik selimut yang nantinya akan menghangatkan tubuhnya. Di peluknya dengan erat jaket milik Harun yang selalu menemaninya beberapa hari ini.

“Aku kangen kamu Kak.” Tanpa Ayana sadari air mata yang tadinya sudah mulai mengering mulai basah dengan air mata yang baru. Membasahi pipi yang sudah lengket karena terlalu banyak terkena air mata yang sebelumnya.

-----o0o-----

Hari sudah mulai beranjak menuju kehidupan yang selanjutnya. Mata Ayana yang sedari kemarin menangis mulai terbuka walau terasa berat akibat membengkak. Sesak kembali menyeruak merasuki hatinya saat teringat akan kisah pilunya bersama dengan mantan kakak kelasnya tersebut.

Usai melaksanakan sholat, Ayana melihat ponselnya dan membuka aplikasi berwarna hijau bergambarkan ponsel. Ayana menundukkan pandangannya, memejamkan kelopak matanya dan menghembuskan nafasnya secara perlahan. Setelah di rasa emosi yang berada di dalam dadanya mulai terkontrol, Ayana kembali menaikkan pandangannya.

Melangkahkan kakinya menuju dapur dan membantu ibunya untuk makan pagi seperti biasa. Wajah sedih yang tadi di lampiaskan di dalam kamar berubah menjadi raut biasa layaknya tak pernah terjadi sesuatu yang membuatnya terpuruk.

Ayana √Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin