Boy dan Putra

Começar do início
                                    

Saat melihat wajah serta beberapa bagian baju yang melekat di tubuh Ayana basah, Putra sudah mengira bahwa Ayana baru saja mengambil air wudhu untuk sholat. Sesuai dugaan di awal, Ayana mulai mengerakkan tangannya untuk melaksanakan sholat secara duduk.

“Mas udah sholat?” tanya Ayana saat telah menjalankan sholat serta do’anya dalam hati.

“Belum.”

“Nggak mau sholat dulu Mas?” Putra tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Boy yang kini tengah tertidur lelap di dalam pangkuannya. Ayana yang mengerti maksud dari tatapan Putra langsung berdiri memberikan jalan untuk Putra agar Putra segera berdiri dari tempat duduknya.

Perlahan, Putra mengangkat kepala Boy dan meletakkannya di atas kursi yang tadi di tempati olehnya. Dengan langkah gontai karena merasa pegal di beberapa anggota tubuhnya, Putra meninggalkan kursi menuju ke arah toilet untuk mengambil air wudhu untuknya.

Ayana yang melihat Boy sedang tertidur dengan posisi yang tidak enak, akhirnya memutuskan untuk mengangkat kepala Boy dan meletakkannya di pangkuannya secara perlahan. Tak selang beberapa lama, Putra kembali dan menempati tempat duduk yang tadi sempat di gunakan oleh Ayana. Tetesan air wudhu tercetak jelas di wajah  tampan milik Putra.

“Maaf Mas, aku nggak tau kalau tadi aku tidur di depan dada Mas Putra,” ujar Ayana secara gugup saat mengetahui Putra telah selesai melaksanakan kewajiban umat islam di seluruh dunia.

“Iya nggak papa, harusnya aku yang minta maaf soalnya tanpa izin dari kamu aku naruh kepala kamu di depan dadaku tadi.” Ayana sontak memandang wajah Putra secara cepat. Pantas, jika saja Ayana tertidur, paling tidak Ayana akan bersender di bahu milik Putra, bukannya di depan dadanya.

“I … iya nggak papa.”

“Bunda,” rengek Boy secara manja kala terbangun dari tidur lelapnya.

“Iya sayang, kenapa Boy?”

“Laper!” Boy mendudukkan tubuhnya sembari memeluk tubuhnya ke tubuh Ayana dari samping.

“Mas, tolong bisa ambilin tasku?”

“Iya.” Setelah mengambil tas dari tangan Putra, Ayana mengambil salah satu kue yang berada di dalam tasnya dan memberikannya kepada Boy. Dengan lahap, Boy memakan kue yang yang telah di berikan oleh Ayana.

“Makasih,” ujar Putra secara tiba-tiba. Ayana menolehkan kepalanya, padangan mereka bertemu secara beberapa detik hingga Ayana menundukkan pandangannya.

“Buat apa Mas?”

“Karena kamu, Boy bisa merasakan kasih sayang seorang Bunda.”

“Mas kenapa nggak nikah aja lagi, biar Boy bisa dapat kasih sayang seorang bunda?”

“Sebenarnya aku juga ingin begitu. Tapi Boy yang nggak mau. Tapi entah kenapa, waktu dia pertama kali lihat kamu, dia menganggap kamu sebagai bundanya walau hanya sementara.”

“Iya Mas, sama-sama. Dia juga imut banget kok.”

Hening kemudian melanda mereka berdua, begitu pula dengan Boy yang masih fokus dengan roti yang berada di dalam genggamannya. Putra sangat menginginkan hal seperti ini di hidupnya. Berkumpul bersama dengan orang yang di sayanginya kala rasa lelah menyerang tubuhnya.

“Ayah juga laper?” tanya Boy saat melihat ayahnya sedang melihatnya memakan rotinya.

“Mas laper? Aku masih ada roti kalau Mas juga laper,” tanya Ayana polos.

“Enggak. Boy makan aja, Ayah nggak laper kok.”

“Bunda nggak laper juga?” tanya Boy.

“Iya. Bunda udah kenyang kok, tadi juga udah makan sebelum naik kereta.”

Ayana √Onde histórias criam vida. Descubra agora