15. Pergi

11K 930 0
                                    

Bian menggulung lengan kemeja putihnya hingga sebatas siku. Cowok itu membiarkan bekas luka di sepanjang tangannya tertiup angin, hingga mengakibatkan bibirnya sedikit meringis. Sakit dan dingin secara bersamaan.

Ada dua hal yang membuat cowok itu menyesal di dunia ini.

Pertama, karena wanita. Dan kedua, karena adiknya.

Kalau saja ia tak pernah terjebak perasaan sesaat yang menyenangkan itu dulu, mungkin keadaan tak akan jadi seburuk ini. Bian tak akan pernah menyakiti dirinya sendiri, dan menyakiti Arif, sebagaimana yang terjadi sekian menit lalu.

Di atas gedung sini, semua yang ada di bawahnya terlihat. Bian bisa melihat semuanya dari kejauhan, sama seperti dulu. Saat dirinya dikukung kepopuleran dan kesenangan yang membesarkan namanya, yang membuatnya terlihat tinggi diantara orang-orang kecil, semua ada di tangannya. Namun tanpa cowok itu sadari, mereka yang ada di bawahnya juga sama, sama-sama melihat Bian yang kecil sedang berdiri seorang diri di pinggiran atap rumah sakit. Kini, Bian hanya manusia biasa yang telah kehilangan hidupnya.

Berkali-kali berusaha mengakhiri hidupnya sendiri, berharap orang-orang akan menangisi ... turut serta merasakan penyesalan atas keputusan yang cowok itu ambil. Namun semua tak mungkin. Nyatanya jika seseorang mati, orang lain akan menangis di satu waktu, meraung mengharap mereka yang telah pergi hidup kembali. Namun, di waktu berikutnya semua bisa lupa. Yang mati biarlah mati.

Bian tau rasanya dilupakan, maka dari itu harusnya ia tak perlu terlalu buru-buru mati sekarang.

Cowok itu menatap kebawah, kearah genggaman keempat jari ditangan kirinya yang cacat. Lalu mengepalkan mereka dan memukul-mukulnya kedepan dada. Cowok itu menunduk semakin dalam, tanpa sebab yang jelas matanya seolah memanas namun enggan mengeluarkan air mata, membiarkan kalung yang menggantung di lehernya menjuntai hingga cincin yang digantungkan menyerupai liontin itu bertubrukan dengan besi pembatas.

Ting!

Bian jatuh berlutut, lalu memegang salah satu sisi kepalanya, kemudian dengan tanpa aba-aba sebuah cairan mulai turun dari sudut mata kirinya.

"Maaf ... maaf ..."

**

Arif baru saja memasukkan sebuah tas besar milik Linka ke dalam bagasi begitu cewek itu sampai dan berdiri di samping mobilnya bersama Jenny.

Harka duduk di kursi penumpang bagian depan tanpa perlu ikut membantu, karena meskipun sudah jauh lebih baik, kondisi cowok itu masih harus tetap dijaga.

Mereka harusnya baru akan pulang keesokan harinya, dengan Jenny yang akan ikut serta menjaga hingga menginap di rumah sakit jika perlu, namun Harka justru ogah. Harka ngotot ingin pulang hari ini, daripada merelakan Linka menjalankan rencana untuk menemui cowok asing ganteng yang ditemuinya di kafetaria.

Jenny sendiri tidak banyak bicara, sejak kembali dari kafetaria, Arif jadi lebih pendiam. Kondisi cowok itu jadi muram dan lebih sering melamun. Bahkan ketika Jenny menyuruhnya mengangkat barang-barang Linka, cowok itu hanya melaksanakan tanpa protes seperti biasanya. Jenny tau, mata cowok itu sembab bila diperhatikan dengan seksama, hanya saja Jenny memilih mendiamkan dan menunggu waktu dimana Arif akan menceritakan sendiri padanya nanti.

"Nggak ada yang ketinggalan, 'kan?" Jenny turut memastikan begitu Arif hendak menutup pintu bagasi.

Linka menggeleng dengan wajah tersenyum masam, mengingat pertemuannya dengan Araikabanu yang hanya sebatas perkenalan nama dan nyatanya mereka hanya mengenal sejauh itu. Linka mendesah, lalu menatap Jenny. "Jen ..."

"Apaan?"

Linka meringis, lalu mengapit kedua kakinya. "Gue kayaknya kebelet pipis deh, gue pipis dulu ya?"

Finding Daddy (END)Where stories live. Discover now