"Apa yang Anda suka dari membaca novel?" tanya Gibran lagi.

"Kadang suka sama sesuatu itu nggak butuh alasan, Kak," jawab Sherin lalu melanjutkan aksi membacanya. Sama seperti aku menyukai Kak Gibran. Sayang sekali keenam kata terakhir itu hanya mampu terucap Sherin dihatinya.

Tak lama setelahnya, Arinta datang dengan tangan yang memegangi perutnya dan terlihat seperti orang yang sedang kesakitan.

Melihat hal itu, Sherin tak hanya diam melainkan bertanya kepada sahabatnya itu dan ternyata benar Arinta tengah merasakan nyeri di perutnya sebab hari kedua menstruasi.

Akhirnya Sherin meminta Arinta untuk pulang dan beristirahat di rumah.

"Kak Gibran! Hati-hati kalau bawa motor, jangan sampai sahabat aku jatuh gara-gara Kak Gibran ngebut bawah motornya," ujar Sherin kala melihat Arinta yang mulai menaiki motor Gibran.

Mendengar hal itu, Gibran membuka helm-nya. "Tanpa Anda memintanya, saya juga akan berhati-hati. Terlebih saya membawa seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya dan untuk menjawab pertanyaan Anda yang tadi, memang benar kenyataannya."

Deg!

Air mata tiba-tiba lolos begitu saja, membasahi kedua pipi Sherin kala melihat Gibran yang sudah jauh dari pandangannya. Kenyataannya memang benar jika Gibran menaruh rasa terhadap Arinta, oleh sebab itu dia memintanya untuk menjauh darinya. Sekarang Sherin paham dengan apa yang harus dilakukannya nanti.

-----

Di tengah perjalanan menuju rumah Arinta, Gibran sempat mampir ke apotek untuk membeli obat pereda nyeri ketika sedang mengalami datang bulan. Semua itu ia lakukan untuk Arinta, walau tadi Arinta sempat menolaknya.

Begitu sampai di rumah Arinta, ia segera melepas helm dan memberikannya kepada Gibran.

"Apa maksud Kak Gibran ngomong hal tadi di depan Sherin?" tanya Arinta.

"Saya hanya berbicara kepada Sherina sesuai dengan fakta yang ada."

"Maaf, Kak. Kayaknya aku udah nggak bisa nyanyi di kafe Kak Gibran lagi dan makasih banyak selama ini Kak Gibran udah sering bantu aku dan ibukku. Sekali lagi aku minta maaf, Kak." Tanpa sadar Arinta mengganti sebutan dirinya sendiri.

Setelahnya Arinta segera masuk dalam rumahnya dan menutup pintu. Padahal Gibran sempat ingin berkata lagi. Alhasil Gibran memutuskan untuk pulang ke rumahnya saja dengan perasaan yang campur aduk.

Di dalam rumahnya, Arinta menangis dalam diam sebab ibunya yang sekarang berada di rumah. Namun, walau begitu tiba-tiba ibunya masuk ke kamarnya lantas duduk di sebelahnya.

"Kamu kenapa Rinta?" tanya Ningsih.

"Rinta nggak papa, Bu," jawab Rinta seraya menahan air matanya agar tak kembali menetes.

"Lagi ada masalah?" tanya Ningsih lagi.

Arinta menatap sendu ke arah ibunya. "Maaf, ya, Bu. Sepertinya nanti keuangan kita menurun lagi, soalnya Rinta udah putusin buat nggak kerja lagi di kafenya Kak Gibran, tapi Rinta janji sama ibu. Kalau Rinta bakalan cari pekerjaan lainnya nanti."

"Sudahlah Rinta, tugas kamu itu belajar bukan bekerja. Biarlah itu menjadi kewajiban ibu, apalagi selama ini ibu belum sempat membahagiakan kamu."

"Ibu ngomong apaan, sih! Rinta selama ini udah bahagia, Bu. Ibu itu sosok wanita hebat sekaligus ayah bagi Rinta. Harusnya tadi Rinta yang ngomong begitu. Soalnya selama ini Rinta belum bisa bahagiain ibu."

Tanpa sadar Ningsih larut dalam situasi yang terjadi, ia terlihat menitikkan air mata. Andai kejadian waktu itu tak terjadi, mungkin suaminya kini masih menemaninya untuk membesarkan dan mendidik putri semata wayangnya.

"Ibu kok nangis?" Arinta menghapus pelan air mata ibunya.

"Andai saja waktu itu Ayah kamu tidak kecelakaan. Mungkin sekarang masih bisa bersama dengan kita, Rinta."

Arinta kaget mendengar perkataan ibunya. Sebab selama ini yang ia tahu dari ibunya, ayahnya meninggal karena sakit yang dideritanya. Namun, mengapa yang baru saja ia dengar berbeda dengan perkataan ibunya beberapa tahun yang lalu.

"Kecelakaan? Bukannya waktu itu ibu bilang, ayah meninggal karena sakit?"

"Maafin ibu, Rinta. Selama ini ibu berbohong sama kamu. Oh, ya, perihal kamu yang mengundurkan diri dari tempat kerja Gibran, itu hal yang sangat tepat."

"Tepat? Maksudnya, Bu?" Lagi lagi Arinta dibuat bingung oleh ibunya.

.
.

Next?

Jangan lupa Vote dan Coment ya 😍

Sekian dan Terima Kasih.

Sampai ketemu di BAB 41.

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Salam sayang
Azka

Formal Boy (END) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt