Cara Mengatasi Insecure dalam Menulis

16 3 6
                                    

(Materi)

Insecure keberadaannya tak akan pernah musnah. Sekeras apapun kita berusaha. Oleh karena itu, baiknya kita yang mengatur kontrol keadaan ini. Sebab di sisi lain, insecure adalah anugrah yang Tuhan berikan dalam bentuk ujian. Di mana keberadaan tentu untuk memberikan tantangan bagi nyali ciut dalam diri kita. Bisa kah kita menghadapinya? Mampu kah kita menanganinya? Sanggupkah kita mengontrolnya? Atau justru sebaliknya? Kita tak mampu apa-apa selain menangis di pojokan kamar sambil memikirkan hal yang sepatutnya tidak perlu kita pikirkan.

Ada jutaan penyebab timbulnya rasa insecure ini dan lebih dominan penyebabnya ada dalam diri kita sendiri. Mengenai bagaimana cara pikir kita untuk mengatasi masalah ini. Termasuk, insecure adalah suatu kesengajaan yang Tuhan berikan dan semua itu bukan tanpa tujuan. Justru Tuhan memiliki tujuan lebih dari sekedar menguji, yakni menguatkan.

Mari coba kita renungkan, apa jadinya manusia jika tidak pernah diliputi oleh rasa yang kita anggap 'sialan' seperti ini?

Ah, tentu saja mereka akan menyombongkan diri bahkan melebihi kesombongan yang Tuhan miliki.

Tuhan sombong? Wajar saja, sebab Tuhan itu Maha Pemilik Segalanya. Sedangkan manusia? Dia punya apa, selain amal baik dan buruk? Bahkan untuk membuat makanan sendiri pun tidak akan pernah bisa jika tidak dibantu dengan makhluk hidup lainnya.

Manusia adalah makhluk hidup heterotrof yang bergantung pada autotrof, nahas sifat sombongnya non-stop. Ia haus pujian, namun lalai untuk memuji nama Tuhannya. Sehingga hanya karena cacian, ia jadi merasa insecure. Padahal andaikata orang lain mencaci, baiknya tak perlu dihiraukan.

Ah, sulit!

Iya, sulit. Sebab diri ini pun masih haus akan pujian.

Ah, sudahlah. Membicarakan manusia hanya akan membuang banyak energi. :)

Kita langsung saja, pada bagaimana cara untuk menjauhkan diri dari rasa insecure ini terutama dalam hal berkarya.

Bagi saya, berkarya adalah mengenai apapun yang menghasilkan jejak etika yang baik, termasuk menulis. Dan awal berkarya bisa kita ibaratkan seperti seorang anak manusia belajar mengayuh sepeda. Banyak terjatuhnya, banyak lukanya, banyak ejekan dari teman-temannya hanya karena belum pandai mengayuh.

Jadi, hal pertama adalah menerima jatuhnya, lukanya, juga ejekannya.

Bagaimana caranya? Tentu lapang dada. Kita terima dengan ikhlas. Lalu balas ejekan mereka dengan usaha kita yang sedemikian keras hingga mereka pun berhasil kita buat bungkam dengan decak kagum.

Lagipula ini baru tahap awal. Masa mau cengeng begitu saja? Malu dong sama Bung Wiji Thukul yang keberadaannya diburon intel hanya karena menulis puisi bagi para oligarki pada masanya. Dan ia tetap menulis. Sampai pada akhirnya, ia pun menghilang entah ke mana. Tak ada yang tahu.

Lalu masih mau menyerah dan insecure setelah kita tahu siapa sosok Bung Wiji ini? Tidak malu kah? Hanya karena ejekan kamu insecure? Ah, memalukan. :)

Ya, memang. Tidak semua orang mampu sekuat itu. Tapi itulah tujuan dari Tuhan menciptakan rasa insecure, *untuk menguatkan.* Kita nggak akan pernah kuat jika tidak ditempa, sama seperti besi yang justru akan berkarat dan lenyap jika hanya dibiarkan begitu saja.

Lalu hal kedua adalah ingat bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna.

Adanya sempurna karena kita mampu menerima dengan ikhlas jutaan buah ketidaksempurnaan. Mengenai awal, mengenai akhir, mengenai proses, mengenai hasil. Semua tak ada yang sempurna dan akan menjadi sempurna di saat kita mampu menerima dan menikmati awal sebagai proses dan akhir sebagai hasil dari ketidaksempurnaan yang kita miliki.

Tips & Trik Tipis MenulisWhere stories live. Discover now