Mindset Seorang Penulis

25 6 0
                                    

(Materi)

Vroh, mindset seorang penulis itu nggak cuma mengandalkan daya imajinasinya yang luar biasa. Tapi juga mengandalkan beberapa faktor lain yang lebih penting dari hanya sekedar imajinasi. Apalagi kita pun tau sendiri bahwa imajinasi nggak cuma dimiliki sama seorang penulis, tapi juga semua orang. Bedanya, penulis mampu menumpahkan imajinasinya ke dalam bentuk suatu karangan.

Sebenarnya ada banyak faktor yang bisa mengubah mindset seorang penulis, tapi seperti biasa karena saya kurang suka materi yang begitu panjang seperti catatan hutang temen kosan. Jadi, saya ambil garis besarnya aja.

Oh iya, Vroh. Tau kan kalo segala sesuatu pasti memiliki resiko? Tau lah, ya. Masa gatau. Sebab dari resiko ini kita akan mengerti bahwa kita harus :

1. Berani mengambil resiko.

Apalagi buat teman-teman semua yang gak jarang dapat larangan dari orang tua untuk gak nulis. Tentu dengan berbagai macam alasan klise seperti, "Udahlah, mending kerja aja yang lebih jelas. Emangnya nulis bisa bikin kamu kaya?!"

("Hei, Bu! Saya bisa kuliah karena nulis!")

Atau, "Udah, fokus belajar aja! Nggak usah nulis-nulis begitu."

("Oy, Emakku tersayang. Dipikir belajar nggak pusing, hah? Sekali-kali dong menekuni hobi.")

Selain dari orang tua, pasti kita pun mendapatkan kata caci dan maki dari teman-teman yang padahal kehadirannya kita harapkan bisa sebagai penyemangat. Tapi hasilnya justru sangat berbanding terbalik. Mereka justru mengolok-olok kita tanpa tau perjuangan kita untuk bisa menuangkan ide ke dalam tulisan.

Mereka justru berkata, "Jelek amat, sih!"

Atau malah lebih parahnya lagi bilang, "Sok iye amat sih lo!"

("Aduh! Sukiteung, itu mulut apa ban bekas? Heuheu.")

Untuk nggak patah dan berakhir begitu saja, mungkin kita mesti ingat dengan sosok Wiji Thukul yang keberadaannya selalu diburu oleh intel, hanya karena menulis puisi yang berisi kritikan untuk kepemerintahan pada orde baru. Dan puisinya itu mampu membuat para penguasa otoritas dan legitimasi kedudukan pemerintah merasa terancam hancur, karena memang kepemerintahan pada saat itu kebijakannya sangat merugikan rakyat.

Nah, dari sosok Mas Wiji ini kita bisa belajar. Apapun resiko dan hambatannya, tetaplah menulis dari hati oleh hati dan untuk hati.

Jangan hanya karena larangan dan ejekan orang lain yang nggak tau apa-apa tentang perjuangan kita, lantas kita pun berhenti. Ah, pasti mereka akan semakin tertawa terbahak-bahak. Puas karena melihat kita mundur dari mimpi kita.

Ingat, Vroh! *Nggak ada caci dan maki yang nggak mengiringi perjuangan untuk meraih cita-cita.*

Oke, lanjut!

2. Jangan merasa nggak berbakat.

Vroh, sini-sini saya bisiki. Sekalipun orang punya bakat dari lahir, dia akan kalah sama orang yang rajin mengasah kemampuannya. Jadi, segala sesuatu itu kayak ngisi bensin di SPBU, dimulai dari nol.

Dan nggak ada ceritanya bayi baru lahir bisa langsung jalan. Ya, oke. Ada bayi yang baru lahir langsung pinter ngomong buat ngebelain ibunya yang dapat fitnah sama masyakarat setempat. Kita juga tau siapa bayi itu. Ya, siapa lagi kalo bukan Nabi Isa? Itupun karena mukjizat yang Tuhan beri. Karena mustahil banget kalo emaknya yang ngajarin dia ngomong. Heuheu.

Jadi, tekuni selama kita nyaman dengan kegiatan menulis ini. Karena kuncinya, kita nyaman. Sebab, kalo kita udah nyaman, apapun resikonya tetap akan  kita hadapi. Ea~

3. Jangan bingung buat mulai dari mana.

Ngerjain matematika aja disarankan buat ngerjain soal yang mudah dulu. Nah, sama. Nulis pun gitu. Nggak perlu pusing mau mulainya gimana. Cukup mulailah dengan suatu model tulisan yang paling kita suka. Entah puisi, diari, cerita pendek, cerita panjang, cerita gabung, cerita kisah, cerita ghibah atau apalah itu.

Sedikit cerita, ya, mengenai dulu awal saya nulis. Jadi, pada dahulu kala waktu sama masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya mulai memiliki imajinasi yang cukup mengganggu pikiran saya. Apalagi penyebab dari munculnya imajinasi itu karena sekolah kedatangan guru baru yang aduhayyy cakeup sekali. Sampai akhirnya, berminggu-minggu saya ngehalu, entah tujuannya apa sampe dibilang sama orang tua kalo kerjaan saya tukang tidur.

Ah, Ya Tuhan. Nggak enak bangeuttttt dikata tukang tidur. Akhirnya saya pun pergi ke toko buat beli buku baru.

Oh iya, dulu saya belum dapat ijin buat megang HP, apalagi dulu memang perkembangan gawai di tanah air memang kurang begitu pesat seperti sekarang ini. Jadi media tulis saya pake buku.

Dan akhirnya, saya pun belajar menuangkan imajinasi ke dalam tulisan secara otodidak. Sesekali baca buku di perpustakaan supaya tau gimana penggunaan PUEBI yang benar.

Nah, itu cerita dari saya. Jadi bisa kita tarik kesimpulan, karena menulis itu sebagian dari terapi, mulailah menulis dengan hal-hal yang begitu mengganggu ruang pikir kita.

4. Jangan malas membaca.

Vroh, membaca itu ibarat ruh dalam jasad makhluk hidup. Gimana tulisan kita akan bisa hidup kalo kita malas membaca?

Untuk poin ini paham lah, ya.

Oke, lanjut. Karena ada hal yang perlu diingat dan menjadi himbauan keras supaya kita dapat mengubah mindset buruk menjadi baik. Jangan malah sebaliknya. Wkwkwk.

Baik, bisa kita simpulkan bahwa jangan menjadi penulis jika malas menulis, jangan menjadi penulis jika malas membaca, jangan menjadi penulis jika malas self editing, jangan menjadi penulis kalo masih nggak tahan sama kritikan dan larangan, jangan menjadi penulis kalo masih pengen buru-buru cerita cepet tamat, jangan jadi penulis kalo stuck langsung berhenti gitu aja kayak gak punya tanggung jawab, jangan jadi penulis kalo masih menganggap nulis itu susah, jangan jadi penulis kalo masih malu sama tulisan sendiri.

Pedes, ye?

Emang gitu. Kudu dipedesin. Dialusin gada mempan-mempannya. Heuheu.

(QnA)

Question:

Kak, tips untuk tidak malas dalam menulis itu gimana?

Bagaimana cara biar supaya konsisten dalam menulis dan bisa membuat daya tarik pembaca untuk membaca cerita kita dan menghilangkan jiwa gak mood?

Hal yang harus kita lakukan agar berani mengambil resiko apa saja, Kak?

Bagaimana cara agar tetap sabar dan tetap semangat menulis jika kita sudah dibuat down oleh orang tua atau sahabat sendiri, Kak?

Answer:

Bismillahirrahmanirrahim, ijinkan saya untuk menjawab pertanyaan dari teman-teman dengan semampu saya yaa🍃

Dan saya akan menjawab empat pertanyaan sekaligus, karena saya rasa pada intinya memiliki kesamaan🌝

Untuk nggak males, nggak mood dan tetep konsisten sekaligus sabar juga semangat nulis, kita harus mencintai pekerjaan itu. Sebab, kalau kita sudah cinta apapun hambatannya akan berani kita lalui. Sehingga kita pun akan tetap pada garis tujuan untuk terus menulis. Dan sampailah pada puncaknya, sadar tidak sadar, kita pun akan mengetahui dengan sendirinya untuk membuat pembaca mulai tertarik. Karena di sisi lain pun, kita akan tahu cara meletakkan alur pemikat yang pas bagaimana. Semuanya butuh proses, Vroh. Nikmati aja segala jalannya.

Pada intinya, segala sesuatu yang sudah kita cintai. Tak mungkin akan kita lepas begitu saja, bukan? Ibarat kita mencintai pasangan kita masing-masing. Hingga orang lain mengatakan berbagai keburukan mengenai pasangan kita, karena kita sudah cinta dengannya, semua itu tidak kita pedulikan.

Suka tidak suka orang lain terhadap tulisan kita, tetaplah untuk terus menulis.

“Saat kamu sedang jatuh, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan? Just keep swimming.” —Dori, Finding Nemo.

Tips & Trik Tipis MenulisWhere stories live. Discover now