Character Development

28 3 0
                                    

(Materi)

Terkadang, kita sendiri bingung dengan gimana cara mengembangkan karakter tokoh yang kita buat. Padahal kalo kita bisa lebih peka, caranya ada di sekitar kita. Dan ini bisa dikatakan adalah cara yang paling ampuh buat mengembangkan karakter.

Nah, di sini saya gak akan banyak-banyak menyampaikan tips atau trik yang tampak runtut. Melainkan hanya akan fokus pada beberapa poin yang biasa saya lakukan untuk mengembangkan karakter tokoh cerita.

Oh, iya, di sini kita saling berbagi, ya. Jadi jangan merasa tergurui oleh penyampaiannya.

Oke, lanjut.

1. Peka

Kita mesti peka terhadap lingkungan sekitar, termasuk peka dengan segala sifat baik dan buruknya orang-orang yang ada di sekitar kita. Entah teman, saudara, keluarga atau musuh bebuyutan kita sejak kecil. Ah, atau gebetan kita yang jadi objek cinta dalam diam. Mengakui malu, tak mengakui pilu. Hiyaaaaa🤣

Tidak hanya peka dengan segala sifat orang-orang di sekitar, tapi juga peka terhadap kebiasaan-kebiasaan apa yang biasa mereka lakukan.

Duh, ribet amat, sih, Nan, bahasanya.😅

Memang begitu, Pren. Kita harus peka. Sebab dari kepekaan ini kita dapat mengkonstelasikan keunikan mereka pada tulisan kita. Apalagi manusia memang diciptakan dengan segala macam keunikan. Jadi, isi cerita yang kita buat pun pembahasannya tidak hanya itu-itu saja yang rasanya amat pasaran di kalangan alur novel jaman sekarang.

Boleh, sih, penulis juga mengikuti perkembangan pasar. Apalagi kalau si penulis bisa berkembang dalam mengikuti alur pasar. Tapi lagi-lagi, mesti perlu kita ingat dengan kata-kata editor berikut: Sebagai seorang penulis, idealisme harus dijaga dan berimbang. Jangan terlalu ikut pasar. Akan sangat jatuh mental penulis, hasilnya tidak bagus di pasar. Sebab yang rugi adalah penulis dan karirnya.

Nah, jadi salah satu yang bikin cerita kita unik itu kepekaan kita terhadap lingkungan sekitar. Gapapa, deh, ya. Sekalian perhatiin orang-orang sekitar. Emang bener, penulis itu jodoh idaman.🙃🤣🤣

2. Riset

Nah, ini. Jantungnya tulisan. Artinya, tulisan akan hampa seperti harapan yang dikasih sama doi jika tidak ada riset. Tulisan akan sangat tidak berbobot dan terasa omong kosong seperti ucapan mantan bahwa kalau kita jodoh, kita gak akan kemana. Juga, tulisan akan tidak memiliki arah seperti tujuan kalian saat masih pacaran dulu jika tidak melalui riset.

Astaghfirullah, si Nanta julidin audiens.😌🙏

Maapkeun, Pren.🙂🙌

Riset itu tidak hanya untuk karya ilmiah atau hal-hal yang berbau non-fiksi. Karya fiksi pun perlu melakukan riset dalam alur dan isi ceritanya, supaya cerita yang mengalir jadi lebih hidup. Ibaratnya jadi punya nyawa.

Apalagi di jaman sekarang ini, riset itu gak perlu ribet. Cukup buka HP untuk tahu apa yang belum kita ketahui. Gak seperti jaman dulu, penulis harus satu persatu membaca buku secara keseluruhan demi karyanya berbobot dan memiliki nyawa.

Nahas, kecanggihan teknologi gak jarang justru bikin kita jadi malas membaca buku. Terlebih buku non-fiksi. Sebab merasa, "Tak perlulah serepot itu cuma untuk melakukan riset." Padahal membaca buku itu perlu, untuk meningkatkan kualitas diri kita terutama dalam menulis.

3. Referensi

Nah, ini. Perannya gak kalah penting sama dua poin di atas. Kita dianjurkan untuk banyak membaca. Terutama buku-buku berkualitas yang menjadi referensi cerita kita.

Logikanya begini, bagaimana kita akan bisa menulis dengan begitu ciamik, sedangkan kita sendiri gak belajar dari karya-karya ciamik yang berserakan di luar sana?

Tips & Trik Tipis MenulisWhere stories live. Discover now