Sebuah Arti dari Rasa Syukur

17 1 0
                                    

(Materi)

Selamat malam teman-teman semua :)

Sudah bersyukur hari ini? Bersyukur atas nikmat sehat dan iman yang masih kita cecap sampai hari ini?

Sudah berterimakasih pada orang-orang di sekitar kita, juga diri sendiri? Meski tanpa sebab yang jelas, tapi merekalah yang senantiasa ada untuk menemani kita. Meski jaraknya jauh nun di sana, sehingga hanya suaranya saja yang terdengar.

Sudah meminta maaf pada tubuh sendiri, sebab masih dan kerap senang melukai? Entah melukai sesama atau justru diri sendiri pun dilukai.

Sudahkah?

Jika belum, mari kita sama-sama panjatkan rasa syukur kita meski hanya sebesar biji zarah kepada Yang Mahakuasa atas limpah rahmat dan rahim-Nya yang tetap tercurah, sedang kita sibuk menerka dengan kata-kata sebagaimana harusnya.

Jika belum, mari kita ucapkan kata terima kasih yang rupanya menjadi dua kata terberat kita untuk lolos dari sepasang bibir kita. Untuk hal ini, rupanya kita masih harus dan terus belajar mengatakannya.

Jika belum, mari kita akui kesilapan kita selama ini bahwa kita kerap menyakiti orang lain juga diri sendiri hanya karena tak mau melapangkan dada untuk memberi maaf pada setiap kesalahan, juga jelaskan mengapa dulu kita sempat begitu kesal padanya agar mampu sama-sama mengkoreksi diri. Lalu katakan maaf setulus-tulusnya.

Ah, iya.

Rasanya tema seminar kali ini akan menjadi tanggungan berat sekaligus kesalahan besar yang saya perbuat di malam ini. Sebab, kala diri masih sering terperangkap rasa kufur, sementara saya di sini justru berkoar mengenai syukur. Membicarakannya seolah saya adalah manusia paling bersyukur.

Sebelum membahas lebih jauh, ada hal yang perlu teman-teman ketahui, bahwa saya tidak sebaik yang kalian pikirkan meski saya pun tidak seburuk yang kalian duga. Saya pun sering mengeluh, merasa tak cukup, merasa kesal dengan keadaan, merasa bahwa Tuhan tidak adil lagi bagi saya, merasa sepertinya semesta senang melihat saya yang jungkir balik. Setiap hari. Tanpa absen.

Jadi, jangan hanya karena saya menjadi pemantik di seminar ini, lantas saya pun menjelma menjadi manusia yang selalu bersyukur. Ah, rasanya masih jauh dari itu. Rasanya bersyukur pun masih hanya karena saya mendapat kesenangan sesaat, bukan karena masih diberi kesempatan untuk mengecap pahitnya jalan yang Tuhan berikan.

Singkat saja. Bagi saya, syukur itu ....

Pahit

Sebab kita masih harus bersyukur atas rasa pahit yang kita terima. Padahal rasanya ingin menangis saja, ingin berprotes pada Tuhan, ingin meraung keras, ingin berteriak bahwa bukan ini yang kita mau. Namun, saat sudah menjadi kehendak-Nya, tak ada cara lain selain menerima, tak ada cara lain selain berpikir bahwa kita masih diberi kesempatan untuk mengecap nikmatnya rasa pahit, tak ada cara lain selain mengucapkan rasa syukur bahwa karena pahit kita bisa mengecap manisnya perjuangan.

Berat

Sebab tatkala kita terpuruk, hancur, remuk, tak bersisa. Kita masih harus memikul beban berat di kedua pundak kita. Padahal rasanya ingin menyerah saja, ingin lari saja, ingin melepaskan semua yang menjadi tanggungan, bahkan tak segan-segan ingin mengakhiri perjalanan panjang yang masih harus kita tempuh. Sayang, kita tak bisa berlaku apa-apa, berbuat apa-apa, selain terus memikul dan berjalan pada alur panjang yang rasanya tak pernah berkesudahan. Lantas, tersebab tak ada jalan lain, kita pun mesti tetap menadahkan tangan ke langit sambil berucap syukur, meminta pertolongan, meminta dikuatkan oleh Tuhan, karena bisa jadi beban berat yang kita bawa akan menjadi penyelamat kita tatkala celaka.

Sempurna

Sebab, pahitnya mengajarkan kita arti manis. Sebab, beratnya membantu kita untuk bisa melepaskan diri dari celaka. Sehingga menjadikan kita mampu merasakan nikmatnya hidup.

Tips & Trik Tipis MenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang