Kesalahan dalam Menulis yang Sering Dianggap Sepele

33 7 0
                                    

(Materi)

Kesalahan adalah hal yang wajar dan manusiawi. Sebab dari kesalahan pulalah kita bisa belajar untuk mengoreksi. Namun, kesalahan tidak akan menjadi wajar apalagi manusiawi jika selalu dilakukan terus-menerus tanpa bertekad untuk memperbaikinya.

Baik, agar kesalahan tetap menjadi hal yang manusiawi. Alangkah baiknya kita mulai belajar untuk memperbaiki dari sekarang. Jangan lagi ditunda-tunda, sebab kesalahan ibarat lubang yang selalu kita gali dan akan membuat kita jatuh terperosok jika kita tidak mau memperbaikinya.

Paham, ya, teman-teman.🙌

Nah, berikut ini dosa-dosa besar dan sering dilakukan oleh umat yang baru berkecimpung di dunia literasi.😹

Mohon maaf sebelumnya jika ini akan menyinggung perasaan teman-teman semua. Tapi yang perlu kita ketahui, tulisan ini pun saya tujukan untuk diri sendiri. Karena memang sejujurnya, saya pun pernah melakukannya. Sebelum akhirnya bertaubat.😆

Dan ini secara garis besarnya.

Nah, hal _*pertama*_ yang menjadi dosa besar kita dalam menulis adalah *enggan membaca buku.*

Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika diibaratkan, keduanya sudah seperti jiwa dan raga. Membaca adalah jiwa dari raga yang semestinya diisi, yaitu menulis.

Bagaimana bisa raga akan bergerak sesuai yang ia inginkan jika ia tidak memiliki jiwa di dalamnya? Bagaimana bisa seorang penulis akan dapat menulis jika ia tidak membaca apapun?

Jawabannya, tidak akan bisa. Jika pun iya, isinya akan hampa seperti kapas. Sebab tidak ada hal lain yang termuat selain isi pikiran kita sendiri. Sedang siapa yang tahu maksud dari isi pikiran dari masing-masing orang? Kita menyampaikan dengan maksud seperti ini, tapi orang lain justru tak mampu menangkap maksud kita dengan baik.

_*Kedua,*_ *tidak memperhatikan PUEBI.*

Nah, ini yang paling sering diabaikan. Padahal PUEBI adalah komponen penting dalam menulis, yang mana di dalamnya terdapat aturan-aturan mutlak dalam menulis agar maksud dari tulisan alat disampaikan dengan baik.

Coba bayangkan jika tidak ada PUEBI, akan sekacau apa dunia literasi ini? Pasti akan lebih kacau dari hati yang diobrak-abrik oleh ekspetasi yang tinggi. Ea~

Untuk yang _*ketiga*_ adalah *terlalu berekspektasi tinggi dengan ambisi yang tidak terkontrol, tapi nihil perihal aksi.*

Wah! Hobi menghalu, sih, boleh-boleh saja. Tapi jangan lupa daratan, ya.😹

Apalagi jika tulisan kita belum selesai, tapi sudah terlalu berekspektasi kalau akan ada penerbit yang datang untuk melamar. Atau malah sibuk mencari penerbit mana untuk kita gaet.

Iya, memang. Boleh-boleh saja kita berekspektasi seperti itu. Bahkan sangat diperbolehkan untuk mengaminkan agar hal itu terjadi. Tapi jangan lupa, segala doa harus diseimbangi dengan upaya maksimal, begitupun sebaliknya.

Terlalu berekspektasi justru akan mengganggu fokus kita untuk menyelesaikan tulisan. Jika ingin berekspektasi, kita bisa belajar dari anak tangga yang harus kita naiki satu persatu.

"Ah, bisa kok langsung lima anak tangga juga," seloroh diri sendiri.

"Iya, bisa. Dan itu pun kalau kakimu panjang," singgung diri yang lain.

Kaki yang panjang, bukan berarti menggambarkan seseorang dengan badan yang tinggi. Melainkan seseorang yang memang benar-benar mampu untuk mengambil langkah lebar. Itu pun jika ia sudah siap dengan konsekuensi yang akan diterimanya.

*_Keempat,_* *menulis tergantung _mood._*

_Mood_ adalah suatu keadaan yang sifatnya tidak tetap. Ya memang, _mood_ pun termasuk ke dalam komponen penting dalam menulis. Bahkan ketika _mood_ kita buruk, kita tidak dianjurkan untuk melanjutkan tulisan karena jika dipaksakan justru akan merusak tulisan kita.

Tips & Trik Tipis MenulisWhere stories live. Discover now