Jaga Ucapanmu Sebelum Menggores Hati Temanmu

27 2 0
                                    

(Materi)

Mulutmu, harimaumu.

Pasti teman-teman semua sering mendengar istilah di atas. Tapi perlu kita analogikan lagi, terlebih harimau itu hewan buas yang tidak akan menerkam mangsanya jika si mangsa tidak bertindak untuk membuat ulah atau memancing keonaran lebih dulu. Artinya, harimau akan tetap tenang pada tempatnya jika tidak ada yang memancing amarahnya.

Jadi, saya rasa akan lebih tepat jika kita analogikan ucapan manusia itu seperti Mulutmu, Pisaumu. Karena semua akan tergantung pada siapa yang memakainya. Untuk memotong makanan atau malah melukai sesama.

Tak jarang banyak kasus kekerasan yang terjadi disebabkan oleh mulut penggunanya. Tak jarang, sesama manusia saling membenci, sebab karena ucapannya. Tak jarang, pertengkaran terjadi karena ujarannya.

Pren, mohon maaf kalau penyampaiannya agak pedas. Karena memang kita harus ditegur lebih keras lagi agar kita tersadar dengan apa yang kita ucapkan.

Oh iya, Pren, pernah kan kalian menyesali ucapan kalian sendiri?

Saya yakin, tentu pernah. Kita semua pernah menyesali setiap ucapan yang pernah kita lontarkan begitu saja. Terlebih jika tanpa dipikir, tanpa dipertimbangkan lebih dulu, mengenai apa dan bagaimana pada cara kita berucap kepada lawan bicara kita. Mengenai apa dan bagaimana perasaan lawan bicara kita saat kita berucap. Apakah ia menerimanya, atau justru sebaliknya? Merasa tak terima sama sekali.

Bahkan manusia sepandai Ali bin Abi Thalib pun pernah menyesali ucapannya. Hingga ia pun berkata, "Aku tidak pernah menyesali diamku, tetapi berkali-kali aku menyesali ucapanku."

Memang, terkadang kita tak sadar dengan apa yang kita ucapkan akan menyakitkan atau tidak. Bahkan saat kita sudah terbiasa berucap asal sehingga menyakiti sesama, bukannya meminta maaf kita justru beralibi, "Maklumlah ya, saya mah emang gini kalo ngomong."

Pren, asal perlu kita ingat kembali bahwa tidak ada yang bisa kita maklumkan atas apa yang asal terucap sehingga menimbulkan rasa sakit bagi si lawan bicara. Sebab kita telah dibekali akal oleh Tuhan. Yang sepatutnya kita gunakan dengan semestinya. Sekali lagi perlu kita ingat, kita tidak bisa memaklumi atas kesalahan yang kita ucapkan. Sebab luka yang tergores karena ucapan lebih menyakitkan dari sebilah pisau yang melukai dada kita.

Lidah memang tak bertulang, namun kata-katanya akan lebih menusuk dari sebilah pedang.

Terluka karena tergores pisau, kita bisa pulih. Terluka karena ucapan, jangan harap kita bisa pulih seperti sedia kala. Bahkan luka karena tergores pisau pun masih menyisakan jejaknya. Oleh sebab itu, kita patut menjaga setiap kata yang terucap, setiap lisan berbicara.

Jikalau pun kita ingin jujur pada hal yang tidak kita senangi, pastikan kita menegurnya sebaik mungkin. Jangan sampai seseorang merasa terluka karena teguran kita, hingga akhirnya membuat mala petaka. Nauzubillah.

Pastikan seseorang itu untuk siap mendengar dan menerima teguran kita. Kalau pun tidak sedia, tak apa, biar semesta yang menegurnya, kita cukup memberi tahu hal yang menjadi kekurangannya secara personal.

Imam syafi’i pun berakata, “Barangsiapa menasehati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi, berarti ia telah menasehati dan mengindahkannya. Barangsiapa menasehati dengan terang-terangan, berarti ia telah mempermalukan dan memburukkannya. (Shahih Muslim Bisyar An-Nawawi (2/24).

Diam itu emas. Berbicara yang bermanfaat itu permata.

Dari istilah ini, kita diwajibkan untuk mengontrol cara bicara kita. Sebab mengingat betapa berharganya kita, sehingga jangan sampai keberhargaan yang kita miliki menjadi hilang hanya karena tidak memperhatikan cara tutur kita kepada lawan bicara.

Tips & Trik Tipis MenulisWhere stories live. Discover now