• IGATT - 32 •

Start from the beginning
                                    

Jeffrey memutar stir untuk berbelok ke pekarangan rumah lantai satu bercat putih gading dengan gerbang hitam.

Setelah turun, Jeffrey langsung ke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu bagi Lalisa, dan dibalas dengan gumaman terimakasih.

"Masuk?" Tanya Jeffrey.

Lalisa mengekor di belakang, melewati taman mini yang dipenuhi tanaman hijau tanpa bunga kemudian sebuah pintu ganda yang juga berwarna putih.

Sejauh mata memandang, keseluruhan dindingnya berwarna putih dengan beberapa pigura untuk menambah kesan estetika. Rumah itu diisi beberapa perabot berwarna putih, diantaranya terbuat dari kaca. Lalisa merasa sedang masuk ke dalam sebuah white room --- meski nggak sampai segitunya juga sih.

Anehnya, tidak ada satupun debu yang menempel di permukaannya. Orang yang membersihkan rumah ini pasti mencintai kebersihan --- dan warna putih --- seluas dia mencintai dirinya sendiri.

"Beli buku yang gu---"

Lalisa bertatap mata dengan orang itu. Berbeda dari cewek berponi yang menatapnya tanpa ekspresi, cowok yang sedang duduk di ruang tamu dengan gitar sambil memegang ponsel itu membelalakkan matanya.

"Perasaan, gua nitip buku, kenapa malah bawa cewek

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Perasaan, gua nitip buku, kenapa malah bawa cewek ..." gumamnya yang tidak dihalau Jeffrey.

Cowok itu menatap adiknya sebentar, menyerahkan paper bag tanpa kata, lalu mempersilahkan Lalisa untuk berlalu dari ruang tamu. Benar-benar tipikal kakak yang cuek padahal diam-diam perhatian.

Lalisa dibawa menuju ruangan berikutnya setelah beberapa langkah kemudian.

"Udah pulang?"

Kali ini giliran Lalisa yang dibuat tidak berkedip. Seseorang wanita dengan balutan gaun putih selutut yang sedang menata tanaman di vas itu tampak begitu anggun. Ujung kaki sampai rambutnya terlihat seperti malaikat yang turun dari surga.

Oke, yang terakhir memang agak dangdut. Tapi penampilannya masih terlihat muda, meski Lalisa yakin umur beliau mirip seperti ibunya. Seperti apa, ya? Disebut paruh baya pun agaknya kurang sopan.

"Bunda, kenalin ini Lalisa. Lalisa, ini Bunda," jeffrey memperkenalkan.

Lalisa mengerjap, lalu tersadar. "Halo, tante. Saya Lalisa, biasa dipanggil Lisa."

"Eh, jangan tante dong. Anak-anak di sini biasanya pada manggil Bunda, jadi panggil aja Bunda Wendy. Oke, Lisa?"

Bunda Wendy tersenyum cerah, memperlihatkan deretan gigi putih di balik bibir tipisnya yang melengkung ke atas. Jemari rampingnya menggeser vas ke tengah meja sebagai sentuhan penyempurna.

"Nah, Lisa duduk di sini dulu, ya?" Matanya kemudian beralih pada Jeffrey yang tengah bersandar di pintu untuk memperhatikan keduanya. "Jef, jangan berdiri doang dong, kamu ambilin minum sana buat Lisa."

Ice Girl And The TroublemakerWhere stories live. Discover now