"Sudah terlalu sering sampai aku kesal sendiri karena Tuhan tidak pernah mengizinkan."

Netra itu menggelap, seolah-olah sebuah penolakan tak berujung akan terus ia lontarkan padaku. Kali ini, setan-setan di dalam kepalaku berhasil tertawa keras, menunjukkan kalau aku tidak akan bisa menarik kembali orang yang kucintai dari dalam palung.

Baiklah, kita lihat siapa yang akan menang. Setan, batinku

"Jujur, aku juga kesal pada diriku sendiri yang memang tidak bisa mengendalikan diri karena kedatangan Arthur. Aku mau pride, tapi ke siapa? Apa yang dibanggakan dari sebuah karma? Jadi, maaf."

" Untuk apa meminta maaf? Akulah yang salah, mangkanya aku mengalah."

Mengalah? Apa kabur dan mencoba menyingkirkan semua orang dari kehidupannya itu disebut mengalah?

"Itu egois dan aku suka," sahut para setan-setan di kepalaku

Benar. Kalian benar. Dia itu egois. Sangat egois. Kali ini aku tidak menampiknya, tapi aku tidak seperti kalian. Aku tidak suka jika keegoisannya malah membuat ia terpuruk. Harusnya ego bisa membantu kita untuk bangkit.

"Kita sama-sama salah. Case closed!"

Tanganku terangkat untuk mengusap air mata yang kini telah menganak sungai. Bagaimana bisa aku menangis hanya karena mengatakan itu? Padahal tadinya aku sengaja ingin memancingnya.

"Goblok, ya. Manis sekali kita, untung bukan jodoh!" umpatku kesal. Sayangnya, leluconku tidak berhasil membuatnya tertawa sedikit pun.

"Aku kesal, Elle. Semuanya dilarang, giliran aku menurut, apa yang aku punya diambil. Lalu aku harus bagaimana?"

Tanganku terulur untuk meraih jemarinya yang tergeletak di atas tempat ridur. Kami masih bersitatap dengan air mata yang sama-sama lolos. Seolah-olah tidak mau saling mengalah untuk lomba menangis.

"Tidak masalah untuk terus menurut sama Tuhan. Selama itu bukan manusia yg pandai memanfaatkan. Melissa bilang kalau bertengkar jangan lebih dari 3 hari."

Mendengar ucapaku, Sera membuang muka, menatap ke jendela, seolah-olah apa yang kukatakan tidak berarti untuknya dan itu membuatku kecewa selama beberapa saat.

"Aku menyesal," lirihnya. "Kemarin, aku seperti sedang ditampar. Beginikah rasanya tidak lagi satu frekuensi? Melihat ambisi kalian, nyaliku menciut."

Aku mendengkus. "Ambisiku? Itu hanya persoalan duniawi, Sera!"

"Ya itu alasannya. Kenapa aku tidak bisa sepertimu."

Dahiku mengernyit, kemudian memaksanya untuk menoleh padaku. "Kenapa jadi kau yang iri?"

Sera terdiam sejenak, mengembuskan napas perlahan. Jemarinya yang kugenggam bergerak memainkan tanganku. Suaranya terdengar seolah-olah dia sedang berbisik.

"Aku kan sudah bilang sejak awal kalau semuanya salahku. Soal keluarga dan—"

"Arthur?" selaku

Embusan napasku menjadi satu-satunya pengisi dalam senyap di ruangan ini. Mereka yang ada di belakangku, seolah-olah tidak memiliki eksistensi. Aku mencoba meredam tawaku yang ingin sekali meledak sat ini. Dahulu, akulah yang sering memiliki rasa iri terhadapnya. Rasa kecemburuan yang begitu besar saat ia memiliki sesuatu yang juga tidak kumiliki, membuatku selalu tenggelam dalam overthinking dan menyalahkan diriku sendiri hingga akhirnya aku setingkali tersesat di persimpangan.

"Dengar! Kita punya beban dan masalah masing-masing, Sera. Tentang keluarga dan pasangan, kita tidak bisa menyamakan kadar itu. Kita tidak bisa menuntut orang lain harus sesuai dengan kehendak kita atau kita yang malah memaksakan diri untuk kehendak orang lain."

"Aku tahu, Elle. Mangkanya saat aku sadar kalau aku memiliki perasaan itu cukup besar, aku jadi merasa tidak lagi sefrekuensi. Aku jauh.  Aku merasa bahwa aku masih tidak bisa nerima diriku sendiri. Aku … harus bagaimana pun aku pun tidak tahu!"

"Rasa iri pada diri manusia itu selaras dengan apa yg harus diperjuangkannya," ucapku pelan, kemudian membawa tangannya untuk kugenggam dengan kedua tanganku yang menopangkan siku pada tempat tidur. "Alasan kenapa aku juga tidak menegurmu, karena aku tahu itu akan semakin menyakitimu.

"Saat seseorang diselubungi emosi, dia tidak akan pernah sadar tentang dirinya sendiri. Mungkin kita bisa sadar di luar alam bawah sadar atau situasi nyata kita. Tapi, kita tidak akan ingat dengan diri kita sendiri. What we needed, what we wanted, what we created. And … what's our life purposes are"

Ekspresi Sera berubah sendu. Ia menunduk. "Tujuanku hidup saja aku tidak tahu."

Aku mendengkus. "Ya pokoknya itulah."

"Apa?"

"Aku juga tidak paham. Ya pokoknya permintaanku kamu harus fight, demi cinta."

"Cinta sialan! Ego sialan! Semuanya berengsek!"

"Mulutmu minta dihajar, ya?! Ya pokoknya ayo fighting. Buktikan sama Tuhan yg sudah memberimu Yod sialan itu kalau kamu bisa survive. Demi aku …," paksaku dengan membuat ekspresi seolah-olah seperti anak anjing yang memelas.

"Apa-apaan mukamu itu?"

"Sialan."

Selama beberapa detik, keheningan kembali menguasai, membuat aku dan Sera terdiam dengan isi kepala kami masing-masing. Dalam asa terdalamku, aku masih berharap dia bisa memahami ucapanku dan menerimanya. Setidaknya, meski pada akhirnya dia akan tetap pergi, dia sudah menyelesaikan pertarungan dengan dirinya sendiri. Satu per satu suara di sekeliling kami mulai kembali. Kekehan Bibi Julia, Paman Reynald, Zo, dan Jarrel memenuhi ruangan dengan bisik-bisik gibahan mereka.

Aku tersenyum sembari memejamkan mata, menempelkan tangan Sera ke pipiku. Meresapi setiap perputaran waktu yang terasa kembali berjalan dengan poros yang berada pada kami berdua. Dan untuk kesekian kalinya …, aku bisa menenggelamkan setan-setan di dalam diriku … meski hanya sejenak.

"Aku lapar. Apa yang kau bawa tadi?"

"Tunggu sebentar!"

"Sekalian, ambilkan infuse water di kulkas untukku."

"Aku bukan pesuruhmu!" umpatku kesal.

Setidaknya, hal itu kembali berhasil membuat Sera tertawa. Seketika ruang di dalam dadaku serasa menghangat, seperti musim semi yang tengah memekarkan bunga apel di halaman rumah.

Aku senang dan sangat bersyukur hubungan kami sudah kembali membaik, meski bukan tidak mungkin Sera masih menyimpan banyak hal yang membuatnya overthinking dan memperburuk kondisinya. Karena aku pun … begitu.

Selaras RasaWhere stories live. Discover now