Selaras 7

14 1 2
                                    

Dari setiap jengkal yang memisahkan antar manusia itu tak terbaca. Ada dari mereka yang jauh berada di sana tanpa pernah bertemu, tetapi jiwanya menyatu seolah-olah terikat oleh benang tipis tak kasat mata. Ada pula mereka yang dekat, berdampingan dan mengaku saling mencintai, tetapi jiwa mereka berjarak. Seolah-olah dipisahkan oleh dunia sejauh Matahari ke Sirius.

"Semuanya baik-baik saja, dan akan berakhir baik."

Sebuah bisikan hadir menggaung di telingaku, seolah-olah itu datang dari sosok yang tertanam di dalam diriku. Aku meringis saat menyadari bahwa kalimat itu mampu menghangatkan hatiku, menyalurkan sedikit energi yang terdorong keluar secara tiba-tiba ke setiap pori-pori tangan yang ada di genggamanku. Kenapa aku tidak pernah terpikir kalau kalimat penghiburan sederhana mampu membuatku bisa sedikit lebih baik?

Sebuah pergerakan kecil tampak menginterupsi anganku, membawaku untuk menatap arah pada rautnya yang kini tersenyum dengan mata sipit yang memukau.

Aku bergerak ragu, sedikit berbisik di telinganya. "Aku datang …, Sera."

Anggukan kecil tampak mengiringi respons terhadap ucpaanku, tetapi sosok yang lemah itu kembali menutup mata dengan garis lengkung tipis di bibirnya. Aku menatapnya seksama, memastikan bahwa dadanya tetap bergerak untuk bernapas.

Aku mengembuskan napas lega. Setidaknya, penghakimannya terhadapku dan respons keras terhadap surat yang kuberikan padanya bisa ditunda. Aku belum siap jika ada lagi pertengkaran di antara kami akibat ego masing-masing yang masih meraja.

Aku mengangkat kedua tanganku dengan siku yang bertumpu pada ranjang, sedikit menunduk dan memejamkan mata. Sebuah kebiasaan yang hingga sekarang tidak pernah kutinggalkan sejak aku memulai sebuah pencarian. Pembelajaran tentang apa arti sebuah kehidupan, cinta, dan harapan.

Dalam otakku saat itu, bahkan sejak aku kecil tidak pernah sedikit pun aku terpikir dan tertanam kata 'ego' maupun mengerti maknanya. Aku terlahir sebagai gadis biasa yang bahkan selalu menpertanyakan makna-makna hidup pada setiap orang.

Di usia pra sekolah, aku pernah bertanya pada seorang guru TK tempat aku biasa bermain dan ikut mencoba bagaimana rasanya sekolah. Hanya menumpang tempat duduk di sana. "Miss, apa itu Tuhan?"

Dengan sangat hati-hati ia menatapku, kemudian menarikku ke dalam pangkuannya sembari tersenyum. "Hmmm apa, ya?" Sembari menunjukkan ekspresi berpikir keras, ia bertanya. Retorik.

Aku menatapnya dengan lugu, sembari berkedip-kedip menunggu penjelasan yang kucari.

"Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta, bumi, dan segala isinya termasuk manusia."

"Bagaimana Tuhan menciptakannya? Semesta itu apa?"

Guru itu tampak bingung, kemudian sedikit menggaruk kepalanya yang tertutup oleh jilbab tipis.

"Dengan kekuasaanya. Semesta itu …"

"Lalu bagaimana Tuhan tercipta? Apa dia dilahirkan sepertiku?"

Wanita dengan tahilalat besar di hidung itu terdiam, rautnya berubah serius dengan embusan napas tertahan. Aku bisa merasakannya, merasakan emosi kebingungan dan ketakutan dari dalam sana. Kemudian ia menurunkanku dari pangkuannya dan menyuruhku untuk turut bermain bersama teman-teman yang lain. Aku yang menantikan jawaban apa yang ia lontarkan hanya memiringkan kepala bingung. Namun, sedetik kemudian aku mengangguk dan berlari menuju kerumunan anak yang tengah bermain keong.

Keesokan harinya, orang tuaku dipanggil ke sekolah. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika kakek dan mama keluar dari ruang guru, mereka menatapku aneh. Yang kusadari itu adalah sebuah tatapan penghakiman. Nyaliku menciut saat itu juga.

Selaras RasaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz