Selaras 5

16 4 0
                                    

Berawal dari sebuah keselarasan aku bersandar pada garis semu dengan sebuah benteng kokoh yang menopang, melindungi, menaungi. Kamar ini tidak sehangat biasanya ketika Jarrel seringkali masuk tanpa permisi dan membuatku terkadang refleks melemparnya dengan buku yang sedang kubaca.

Isakanku masih mengisi relung dan lorong ruang hampa di kamar ini. Seolah-olah memang tidak ada kehidupan selain aku di sini.

Ingatanku mengawang, pada masa-masa indah, masa-masa pahit, bahkan masa tak terhitung yang dianggap tidak penting pun berkelebat bebas di dalam kepalaku. Wajah yang tersembunyi di antara lipatan lutut itu kini terasa berat dan bengkak. Namun, seolah-olah tidak menggubris semua aksi di sekelilingku, sampai-sampai aku tidak mengindahkan ketukan pintu perlahan yang kini berubah sedikit lebih cepat.

"Elle …, Elle!"

Suara lelaki itu menuntut. Lelaki yang kukenal seumur hidupku dalam diorama di sebuah lukisan yang pernah kubuat. Lelaki yang kehadirannya membawa kemelut takdir, tetapi tidak bisa kuhindari. Lelaki yang bersamaku berkat sebuah lambaian selamat pagi di jendela. Arthur Rosewell.

Ketukan yang semakin diselimuti kepanikan tersebut mengundang derap langkah lain yang kini berusaha mendobrak pintu jati kokoh di belakangku. Merasa terganggu, aku pun beranjak, kemudian memutar kunci dan kenop. Menampilkan seraut kecemasan dari seorang Arthur diiringi raut lain yang berada di sebelahnya.

Lelaki tinggi di sebelah Artur dengan rambut pirang yang masih basah itu memelototiku, hingga kemudian merengkuhku ke dalam pelukannya. Tidak ada suara yang keluar kecuali deru napas yang berpacu.

"Aku merindukan Abang …." Seolah nurani tengah menentang, membuatku melontarkan kalimat yang seharusnya hanya kusimpan dalam-dalam di otakku. Lelaki jangkung yang tingginya dua kali lipat dariku itu menenggelamkan wajahnya di sela-sela rambutku.

Aku terdiam, memejamkan mata, menikmati aroma pinus dari tubuhnya yang begitu kurindukan. Rasanya, sehari saja tidak membauinya di sekitarku, seperti ada yang hilang.

Arthur yang berada di belakang Jarrel hanya tersenyum, kemudian menepuk punggung yang bongsor, membuat si pemilik melepaskan pelukan dan menghapus air matanya. Ia menatapku lembut.

"Maaf," cicitnya.

Aku hanya mengangguk, kemudian berbalik arah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri seperti yang dititahkan Arthur saat di bawah tadi. Aku menatap cermin di wastafel, menunjukkan bagaimana rupaku yang tampak sembab dan memerah. Kulit pucat itu tampak seperti terbakar matahari. Freckles di sekitar hidung dan pipiku tersembunyi di antara rona kesedihan yang terlepas sejak tiga hari yang lalu.

Aku terdiam sejenak, menatap betapa rambut panjang ini kini tampak membuatku terganggu. Dulu, aku dan Jarrel terbiasa bersaing, 'Rambut siapa yang lebih panjang!'. Namun, kini aku tidak ingin melakukannya lagi. Rambut lelaki itu sudah dipotong sepunggung.

Tanganku terulur untuk mengambil gunting besar yang berada di laci yang tergantung, kemudian memaksanya untuk memotong helaian merah yang bergelombang itu. Tampak berantakan akibat gesekan wajah Jarrel di permukaanya beberapa saat lalu.

Embusan napasku mengembun, membuat kaca besar di hadapanku kini memburam di satu titik. Aku tersenyum melihat rambut yang begitu aku dan Jarrel banggakan kini hanya tertinggal sebagian.

🌺🌺🌺

Aku keluar dengan perasaan yang lebih segar, baju ganti, dan wajah yang sudah terpoles oleh produk perawatan kulit, tidak membuat semburat kemerahan dan bengkak di sekelilingnya hilang. Tatapanku terhenti pada dua sosok yang kini tengah bersantai dan mengobrol. Sesekali disertai kekehan ringgan yang membuat keduanya tampak akrab. Berbanding terbalik saat sebelum aku dan Arthur sempat berpisah dulu. Si pirang itu akan memanggilku untuk masuk ke dalam rumah dan mengusir Arthur ketika kami berdua ketahuan bertemu di halaman belakang. Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat.

Selaras RasaWhere stories live. Discover now