Selaras 14

14 1 2
                                    

"Jadi masak apa, Dam?" tanyaku yang baru saja sampai di dapur, bersandar pada bar.

"Seitan. Kau bilang Sera tidak bisa makan daging."

Hooo …, calon vegan, godaku dalam hati. Percuma juga kulontarkan, toh Sera tidak ada di sini.

Jam makan malam hanya tinggal beberapa menit lagi. Adam masih berkutat dengan kompor, pan, dan spatulanya, dibantu oleh sang ayah—Paman Leon. Sedangkan aku masih setia di bar dapur untuk berbicara pada Paman Leon mengenai bagaimana sekolah Adam dan lanjutan untuk kuliahnya. Sesekali embusan napas menguar tanpa bisa kukendalikan. Rasa sesak yang entah dari mana masih mengikat di dadaku, seolah-olah ada jangkar raksasa yang memberikan beban agar tidak bisa ke mana-mana.

Adam memang tengah memasak untuk Sera yang katanya tadi ingin makan sesuatu. Saat Adam menawarkan diri untuk memasak, ia pun meresponsnya dengan baik. Aku senang jika hubungannya dengan adikku terjalin apik, bahkan itu bisa membuat hubungan Paman Leon dan sang kakak—Paman Reynald, menjadi lebih baik meski harus ada sedikit campur tangan anak-anak mereka. Kalau boleh kukatakan, Paman Leon benar-benar tidak bisa berkutik dengan ancaman Adam.

Adam dan Paman Leon pun segera meluncur ke rumah sakit setelah ritual buka puasa bersama di kediaman William usai. Semuanya berjalan lancar, meski beberapa kali mendapatkan tepukan dari Froza dan panggilan keras dari Melissa yag memekakkan telinga. Aku dan Jarrel berencana berangkat bersama Adam, tapi tidak adanya kabar dari Rosela dan Razel membuatku sedikit was-was, jadi aku memutuskan untuk berada di rumah dahulu. Berdiri di balkon sembari menikmati semilir angin malam musim semi yang terasa hangat, tetapi juga sejuk secara bersamaan, aku mencium aroma bunga apel dan Camelia yang kini masih tampak mempertontonkan kecantikan mereka. Sorot lampu bahkan memberikan mereka ruang untuk lebih berkilau dengan jelas.

Aku menatap kosong ke arah langit, bulan waxing semakin meninggi, beriringan dengan pergeseran konstelasi yang dilewatinya. Moon in Virgo memang sangat menarik. Entah kenapa seperti ada sebuah kerinduan yang amat dalam menguasai setiap kali aku memandangnya. Adalah satu bintang yang paling terang berada pada ujung genggaman sang perawan Virgo.

Aku mengembuskan napas berkali-kali. Sampai pada akhirnya Jarrel menghampiriku dengan sejuta pemikiran rumit di dalam otaknya. Ah, tidak, sejuta perasaan di hatinya … yang cukup kompleks.

"Abang jangan ikutan overthinking, deh."

Ia terkekeh, kemudian mengelus keplaku perlahan. "Menurutmu siapa yang meletakkan perasaan serumit ini di dada Abang?"

Kembali, embusan napasku yang penuh penyesalan bercampur kesal meluncur begitu saja. Asap putih menguar, kemudian lenyap bersama udara, kembali terhirup olehku ke dalam tubuh dan menyatu di jantungku.

"Maaf," kataku pelan. Mungkin, hanya jarak terdekat kami saat inilah yang mampu mendengarnya dengan jelas.

Sebuah gelengan Jarrel berikan, kemudian menarik kepalaku ke dalam dekapan lengan kirinya yang kokoh dengan otot-otot yang sedikit menonjol. Tubuhnya masih saja terjaga dengan baik meski kini tampak sedikit lebih kurus. Sebuah kecupan panjang ia daratkan di keningku, mengurai kerutan yang sejak tadi sore memenuhi ruang kosong dan mencetak keriput di wajahku.

"All is well and ends well, Elle."

Alisku terangkat. Tunggu, kalimat ini seperti tidak asing bagiku. Otakku memutar sesaat pada ingatan yang seringkali berupang tertanam di kepala, kemudian menyadari sesuatu, aku langsung memukul dadanya pelan.

"Itu judul naskah drama Shakespeare, astaga."

Pria itu tergelak, kemudian membalas, "Kau sering memutar audiobooknya, jadi kalimat pembuka itu menempel di benakku. Sepertinya tidak salah karena bisa kugunakan untukmu di saat yang tepat."

Kuembuskan kembali napasku yang semakin berat. "Yeah, hope so."

Hening sesaat, kami sama-sama saling menikmati interaksi tanpa suara, menjaga suasana agar tetap tak semena-mena. Aku memejamkan mata kembali, menikmati aroma pinus yang menguar dari tubuhnya, tertiup angin, lalu menyebar. Aku selalu menyukai aromanya, bahkan tidak membuatku bisa berpaling pada aroma lain yang lebih memabukkan. Biarpun Sera sering mengejek aroma tubuh Jarrel seperti Wipol, tapi aku tetap tidak pernah berkhianat. Hidungku agaknya tahu mana yang memang bisa memberikan efek kejut pada rangsangan otakku secara luar biasa. Seolah-olah bau tubuh Jarrel selalu membawaku ke hutan di belakang rumah kecil kami. Menenangkan dan menyegarkan.

"Ayo kita berangkat. Razel mengirim pesan kalau kita bisa bisa pergi lebih dulu."

"Abang tidak makan malam dulu dengan kakek?" tanyaku kemudian.

Pria itu menggeleng dengan kekehan kecil. "Malas."

Kembali, kerenyitan di dahiku yang tadinya lenyap, kini muncul tanpa aba-aba. Secara mengejutkan membuat sebuah jentikan jari mendarat di sana. Aku ingin sekali mengumpat saat itu.

🌺🌺🌺

Suasana kamar rawat Sera memang selalu ramai di jam-jam ini, tetapi kini masih sepi karena semua orang sedang keluar. Aku tengah duduk di sofa pendek dengan posisi kepala di sandaran tangan sebelah kanan dan kaki menggantung di sisi satunya. Tanganku bersidekap sembari menatap interaksi Sera dengan Adam yang kini berada di sebelahnya. Beberapa bulan mereka tidak bertemu, sorot kerinduan itu tampak jelas di mata keduanya.

Pikiranku berkutat pada apa yang menjadi bahan overthinkingku seharian, bagaimana jika pada akhirnya Sera gugur dalam perjuangan Rosela dan Razel kali ini. Hingga tak lama, pasangan yang menjadi objek dari buah pikiranku pun datang. Rosela disambut oleh Adam yang membuat keduanya langsung akrab, sedangkan Razel langsung berjalan menuju ke arah Sera. Semuanya mengobrol dengan hangat, membuat suasana yang tadinya hening penuh dengan kekakuan pun mencair perlahan. Kecuali aku, yang kali ini mendongakkan kepala bersandarkan bantalan kursi.

Menyusul Paman Leon yang kembali bersama Zo. Paman Leon langsung saja berpamitan karena hari sudah malam dan membiarkan Adam menginap di sana. Disusul pula oleh Rosela dan Razel yang katanya ingin mengambil sesuatu di mobil.

Aku mengembuskan napas berat, sembari menatap ke langit-langit kamar. Lampu yang terang mengingatkanku akan cahya bulan di luar sana yang tengah mmeasuki fase hampir purnama. Sekitar tiga hari lagi.

Sepertinya aku butuh udara segar, pikirku.

Aku pun beranjak dari sofa, membuat Jarrel yang berada di sofa lain di sampingku melirik sesaat, kemudian kembali fokus pada ponselnya. Akhir-akhir ini dia sering sekali memainkan game Diamond Rush.

"Aku mau keluar dulu, ya, Sera," pamitku pada gadis yang saat ini tengah beradu ejekan dengan Adam, disertai tawa lirihnya yang lembut.

"Mau ke mana?" Adam bersuara mewakili.

Aku tersenyum kikuk sembari menggaruk alis. "Moonbathing."

Anggukan kedua orang tersebut mendorongku untuk segera keluar dari sana. Berjalan menyusuri lorong dan menuruni lift menuju halaman rumah sakit. Sekaligus … berniat menyusul Rosela dan Paman Leon. Sepertinya Ro akan sedikit kesulitan untuk berdebat dengan pria itu.

Tepat di halaman parkir, kedua orang itu tengah berdiri di antara deretan mobil yang tertata rapi. Tangan Paman Leon bergerak, memberikan gestur dalam setiap ucapannya. Body language orang itu cukup bagus. Razel datang menghampiri dari arah mobilnya yang terparkir di ujung dekat jalan raya. Rosela yang tampak kikuk itu membuatku sedikit merasa iba.

Aku berjalan mengampiri keduanya, lalu meminta Rosela dan Razel untuk kembali ke dalam. "Biar aku yang jelaskan pada Paman Leon," kataku pelan. Hal itu membuat Paman Leon menaikkan sebelah alisnya.

Selepas kepergian Razel dan Rosela, aku meminta satu-satunya pria yang tersisa di sana untuk mengikutiku. Berjalan ke arah taman samping rumah sakit yang cukup luas, dengan pepohonan yang tidak terlalu besar berjejer di setiap petak yang disediakan. Kami berdua duduk di bangku besi yang berada tepat di bawah pohon Maple.

"Jadi, Bisa Elle jelaskan padaku tentang apa yang dikatakan Rosela?"

Selaras RasaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora