Selaras 12

5 2 0
                                    

Malam ini, aku datang kembali ke rumah sakit. Dengan perasaan yang lebih stabil dan jauh lebih baik, aku berjalan di koridor rumah sakit dengan senyum yang mengembang diikuti oleh kakak lelakiku, Jarrel, di belakang. Tangan kananku membawa sebuah totebag yang berisi beberapa biskuit dan puding rasa buah yang kubeli di perjalanan tadi.

Embusan napasku meluncur lambat ketika aku berdiri tepat di depan pintu, kemudian membukanya perlahan. Semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut langsung mematung, memelototiku yang tiba-tiba datang tanpa kabar. Paman Reynald yang tadinya berada di atas tempat tidur Sera pun langsung beranjak turun dari sana.

Dengan senyum canggung aku melangkah masuk. Perlahan, seolah-olah tengah melintasi tebaran paku payung di jalanan. Rasanya aneh. Hingga Bibi Julia menghampiri terlebih dahulu untuk memberiku pelukan seperti biasanya. Ia menerima bungkusan yang kuulurkan tanpa sepatah kata pun.

Aku menghampiri Sera perlahan, sembari menahan kepalan tanganku agar tidak bertindak anarkis terhadap tubuh yang hanya tersisa tulang berbalut kulit tersebut. Ia sama sekali tidak menoleh ataupun menyapaku. Apa yang dia lakukan kemarin, memelukku hingga badanku kram karena tak bisa bergerak itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa hubungan kita sudah kembali seperti semula? Namun, seolah-olah berkhianat, mulutku malah melontar dengan suara lantang.

"Goblok!" Aku yakin semua orang yang ada di belakangku tengah terkejut dan memelototiku dengan tatapan yang tidak menyenangkan.

Sedangkan Sera sendiri, ia akhirnya menoleh, masih dengan raut datar yang tampak kosong.

"Apa?"

"Ya pokoknya kau goblok!" seruku lagi kemudian. Dengan air mata yang berusaha kutahan agar tidak mengalir.

"Kenapa?"

Masih dengan tatapan datarnya, ia kembali membuatku semakin ingin menangis.

"Ya entah! Rasanya aku ingin sekali menghajarmu, tapi aku tidak bisa! Aku gemas, ih!"

Hening. Ruangan ini seolah-olah mendukung untukku mengungkapkan semuanya, melepaskan semua uneg-uneg yang mengekang perasaanku selama berhari-hari.

"Aku masih ingin tawakal, tahu tidak? Bagaimanapun caranya Sera harus sembuh. Jadi, ayo berusaha! Jangan pesimis begitu kenapa, sih?"

Beberapa saat ia terdiam, saling tatap dalam keheningan yang membelenggu. Dalam diriku selalu berharap, ia bisa dan mau mendengarkanku. Selalu.

"Bagaimana caranya? Aku sudah berusaha, Elle. Tapi, tidak bisa!"

Sesak. Seolah-olah harapanku hanya seperti botol kosong yang dilempar ke lautan. Namun, aku tidak ingin menyerah. Bagaimanapun aku selalu diajarkan untuk selalu berusaha meski nasib selalu menjatuhkanku.

Aku meletakkan bokongku pada kursi di sebelahnya, semakin mempersempit jarak kami. Aku menatapnya tajam, dengan penuh keyakinan, berharap bisa tertular padanya

"Menerima ego sebagai bagian dari dirimu! Jangan menolaknya, jangan berusaha mengendalikannya! Ego itu kamu dan ego itu aku."

Ia terdiam, kemudian mengembuskan napas sembari memejamkan mata. Pandangannya kembali terarah kepadaku setelahnya.

"Aku kebablasan, Elle. Ingin aku sesekali bisa pakai kehendak, tapi malah jadi seperti ini. Tololnya sudah mengakar."

Aku mengenbuskan napas. Sebuah penolakan darinya menimbulkan reaksi kecil dalam dadaku yang cukup menyakitkan. "Kamu tidak berkompromi dulu sama Tuhan sih. Kalau mau kehendakmu berguna, katakan pada Tuhan apa yang kamu inginkan, izin padanya. Kembalikan keyakinanmu kalau Tuhan dan para malaikat ngegandeng tanganmu, membimbing kamu"

Selaras RasaWhere stories live. Discover now